
Surabaya - Walikota Surabaya telah mengeluarkan perwali no 33 tahun 2020 yang mengatur tata cara hidup new normal di tengah pandemi virus covid-19. Akan tetapi ada aturan yang belum bisa diterima warga Surabaya, yakni pembatasan jam malam.
Pembatasan jam malam di Surabaya dianggap sebagai momok bagi para pelaku usaha yang berkegiatan di malam hari. Aksi demonstrasi sempat mewarnai balai kota Surabaya bulan lalu. Berbekal beberapa porster bertuliskan 'Jangan Siksa Kami Dengan Perwali No 33 Tahun 2020, Kami Butuh Kerja, Bu Wali, Mbiyen Aku Jek Betah Suwi-Suwi Wegah'. Mereka menuntut Walikota Risma mencabut perwali 33 tahun 2020.
Sebab itu, Wakil Ketua DPRD kota Surabaya A H Thony lagi-lagi angkat bicara terkait Perwali 33 ini. Thony mengatakan, perwali 33 ini sangat kontradiktif dengan spirit pemulihan ekonomi di tengah pandemi. Seharusnya, Walikota Risma, peka dan mampu mengaplikasikan spirit ini.
"Spirit intruksi presiden berkaitan dengan pemulihan ekonomi, muncul impres nomor 6, kita sebagai pemerintah daerah diharapkan mampu menangkap spirit itu dengan baik," Katanya, Kamis (3/9/2020).
Thony mengingatkan, Sosial kultur masyarakat Surabaya berbeda dengan daerah lain, di Indonesia. Dimulai dari sektor jasa, sektor perdagangan, sampa sektor hiburan. Sektor-sektor seperti ini yang perlu diingat dan diperhatikan oleh Pemkot Surabaya.
Bahkan Thony menyebut Surabaya sebagai kota yang tidak tidur, artinya regulasi perekonomian masyarakat sepanjang waktu.
"Perlu di ingat, Surabaya ini never sleep (tidak tidur). Ekonominya bergerak dari pagi ketemu pagi lagi, dan format itu sudah terjadi sekian puluhan tahun yang lalu," imbuhnya.
Tantangan ini memang berat, tapi ini harus dilakukan demi menyelamatkan perekonomian masyarakat. "Jam malam ini harus ada perubahan, tapi perlu penerapan bagaimana protokol Covid itu ditegakkan," pungkasnya. (Ard/adv)