16 December 2025

Get In Touch

Lebih dari Separuh Wilayah Jatim Rentan Bencana

Peta Prakiraan Terjadinya gerakan tanah Desember 2025 Provinsi Jawa Timur.
Peta Prakiraan Terjadinya gerakan tanah Desember 2025 Provinsi Jawa Timur.

SURABAYA (Lentera) — Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merilis executive summary pada Kamis (11/12/2025) peringatan serius terkait meningkatnya potensi bencana hidrometeorologi di Jawa Timur sepanjang musim hujan 2025–2026. Bahkan, derdasarkan peta prakiraan terjadinya gerakan tanah Desember 2025, lebih dari separuh wilayah Jawa Timur masuk kategori menengah hingga tinggi terhadap ancaman longsor, pergerakan tanah, dan banjir bandang.

PVMBG menegaskan bahwa kondisi morfologi dan geologi Jawa Timur sangat rentan terhadap bencana, terutama di wilayah pegunungan vulkanik aktif seperti Semeru, Ijen–Raung, Argopuro, hingga Kelud. Kombinasi lereng terjal, batuan vulkanik lapuk, DAS hulu yang curam, serta kepadatan permukiman di kaki lereng membuat skenario bencana serupa Aceh, Sumut, dan Sumbar pada 2024–2025 sangat mungkin terjadi.

Laporan PVMBG mengidentifikasi beberapa klaster kerawanan ekstrem: Pegunungan Ijen–Raung–Merapi yang meliputin Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo. Puluhan kecamatan di tiga kabupaten ini memiliki label berpotensi banjir bandang/aliran bahan rombakan. Pola ancamannya mirip dengan bencana besar yang melanda Sumbar pada 2024.

Kemudian, di sektor Semeru–Argopuro yang meliputi Lumajang, Malang Selatan, Probolinggo. Wilayah ini rutin menghadapi lahar, longsor, dan banjir bandang. PVMBG menilai potensi bencana dapat menyamai skala kejadian Aceh–Sumut jika hujan ekstrem berulang.

Selain itu, daerah yang masuk zona rawan tinggi yaitu wilayah perbukitan selatan seperti Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Tulungagung, Kediri. Kemudian, Jember bagian hulu juga masuk kategori rawan tinggi karena kombinasi lereng curam, litologi lapuk, dan DAS pendek yang langsung menuju permukiman.

Sementara beberapa kota besar seperti Batu, Malang, Kediri, Mojokerto, dan Madiun juga dinilai tetap rentan terhadap pergerakan tanah dan longsoran tebing.

Dampak Berpotensi Lebih Besar dari Sumatera

PVMBG menilai risiko bencana di Jawa Timur berpotensi lebih besar dibandingkan Aceh, Sumut, dan Sumbar karena beberapa hal itu kepadatan penduduk lebih tinggi, terutama di kaki lereng gunungapi; DAS pendek dan curam, yang membuat banjir bandang datang sangat cepat; Litologi vulkanik dan lahar yang sangat lapuk, meningkatkan potensi aliran bahan rombakan dalam jumlah besar.

Rilis itu juga menyebut rekam jejak bencana besar seperti banjir bandang Banyuwangi (2015), lahar Semeru (2021–2022), hingga longsor di jalur selatan memperlihatkan bahwa Jawa Timur memiliki pola ancaman yang setara – bahkan lebih kompleks.

Rekomendasi Strategis Badan Geologi

Untuk menghadapi puncak musim hujan, PVMBG mengeluarkan sejumlah langkah mitigasi mulai jangka pendek, menengah, hingga panjang. Untuk jangka pendek yaitu peringatan dini bagi kecamatan yang berlabel berpotensi banjir bandang/aliran debris; pemantauan intensif di sektor Ijen–Raung dan Semeru; evakuasi dini jika hujan ekstrem mencapai >100–150 mm/hari; dan identifikasi rekahan aktif di Banyuwangi, Lumajang, Bondowoso, dan Jember.

Kemudian untuk jangka menengah yaitu penambahan sensor deformasi dan rain gauge otomatis di Semeru, Ijen–Raung, Trenggalek, dan Pacitan; integrasi sistem peringatan dini banjir bandang berbasis DAS; dan pendampingan tata ruang untuk menghindari permukiman di zona berbahaya.

Serta rekomendasi untuk jangka Panjang yaitu rehabilitasi DAS kritis di Banyuwangi, Lumajang, dan Pacitan; zonasi ketat kawasan rawan bencana dalam RTRW kabupaten/kota; dan pengembangan jejaring sensor geologi–meteorologi di seluruh Jawa Timur.

Kepala PVMBG, Priatin Hadi Wijaya, mengatakan bahwa kondisi geologi, topografi, serta cuaca ekstrem yang diprediksi BMKG dapat menjadi kombinasi pemicu bencana serupa seperti yang terjadi di Sumatra beberapa waktu terakhir.

Dia menandaskan bahwa pemetaan ini sekaligus menjadi dasar peringatan dini agar masyarakat di zona rawan meningkatkan kewaspadaan, terlebih setelah rangkaian bencana ekstrem yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar).

“Kami memang menyampaikan executive summary terkait analisis dampak potensi banjir bandang dan longsor di Jawa Timur. Dan memang kami juga memberikan warning bahwa potensi Jawa Timur ini memiliki kerentanan gerakan tanah tinggi dan kombinasi dengan potensi terjadinya banjir bandang seperti yang kasus di antaranya Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat,” ujarnya, Kamis malam (11/12/2025) melansir Radio Suara Surabaya.

Menurut Priatin, karakter geologi sejumlah daerah di Jatim memiliki kemiripan dengan lokasi bencana di Sumatra, terutama karena berada di lereng pegunungan dan hulu sungai.

Priatin menguraikan bahwa meningkatnya potensi bencana dipengaruhi oleh empat faktor utama, terutama pada puncak musim hujan. Faktor pertama, yakni hujan yang sangat lebat yang menyebabkan tanah itu bisa jenuh air, tekanan pori akan naik dan sungai meluap.

“Kemudian yang kedua, faktor yang berikutnya itu adalah lereng vulkanik yang curam dan material rembakan yang terlihat di sebagian wilayah Jawa Timur. Bahkan kami sampaikan 60 persen wilayah Jawa Timur itu rentan terkait dengan gerakan tanah longsor dan bagian bandang,” ucapnya.

Selain faktor geologi, ia menyoroti alih fungsi lahan dan kerusakan daerah aliran sungai juga jadi faktor ketiga yang memperparah risiko. Kondisi ini membuat peringatan BMKG tentang peningkatan curah hujan hingga Januari 2026 menurutnya harus direspons serius, terutama oleh warga yang tinggal di zona merah.

Terpisah, Kepala Pelaksana BPBD Jatim,  Gatot Subroto mendukung Executive Summary yang dirilis oleh PVMBG itu. Dia menegaskan bahwa masyarakat harus benar-benar menaati peringatan dini. 

“Masyarakat perlu berhati-hati dan waspada apabila melakukan kegiatan ataupun tinggal di wilayah rawan potensi bencana, selalu mengikuti perkembangan informasi dari institusi yang berwenang dan mengenali lingkungannya seperti jalur evakuasi, apabila ada EWS (early warning sistem) perlu diperhatikan bila berbunyi dan saling mengingatkan antar tetangga bila ada ancaman bahaya,” kata Gatot. (*)

 

 

Editor : Lutfiyu Handi / Berbagai Sumber

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.