BEBAN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kian berat, akibat mekanisme subsidi energi. Skema subsidi yang berbasis kuota disebut berimplikasi langsung pada munculnya biaya kompensasi ketika realisasi subsidi melewati batas kuota. Kemudian, konsekuensi dari mekanisme ini harus ditanggung APBN tahun berikutnya juga dalam bentuk biaya kompensasi. Hal ini akibat belum dibayarnya dana kompensasi di sejumlah BUMN oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sehingga, diperlukan kejelasan mengenai keberlanjutan skema tersebut di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan (Menkeu). Pasalnya, harus ada sebuah kepastian apakah mekanisme ini nanti akan tetap digunakan, atau kemudian alokasi subsidinya yang akan bersifat fluktuatif, naik dan turun. Meski demikian, subsidi energi dinilai masih belum tepat sasaran dan belum sepenuhnya dirasakan rakyat kecil. Bahkan, sebagian besar subsidi justru dinikmati kelompok mampu. Untuk pertalite misalnya, pemanfaatannya sebesar 86% yang masih dinikmati rumah tangga, sehingga ada indikasi kebocoran pemanfaatan subsidi yang kurang tepat. Padahal, total anggaran subsidi energi dan kompensasi pada 2025 senilai Rp 479 triliun. Angka tersebut lebih rendah dibanding pada 2024 yang sebesar Rp 502 triliun. Semua itu terungkap dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan (Menkeu), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025). Dalam kesempatan itu, Komisi XI mendorong agar pemerintah mendesain ulang penyaluran subsidi agar lebih presisi dan berbasis keadilan. BACA BERITA LENGKAP, KLIK DISINI https://lentera.co/upload/01102025.pdf