
SURABAYA (Lentera) – Pengembangan TransJatim sebagai layanan transportasi publik berbasis bus rapid transit (BRT) dinilai berhasil memberi alternatif murah bagi masyarakat Jawa Timur. Karenanya, Ketua Komisi D DPRD Jatim, Abdul Halim, menegaskan bahwa pengembangan TransJatim tetap menjadi prioritas, tetapi diperlukan kepastian pembiayaan agar tidak membebani anggaran daerah di masa mendatang.
“Kalau bicara keberlanjutan TransJatim, hari ini kita sudah masuk pada enam koridor yang beroperasi. Bahkan bulan Oktober nanti akan diluncurkan koridor 7 di Lamongan, serta koridor Malang Raya yang mencakup Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Semua ini tentu bagus untuk masyarakat, tapi harus diiringi dengan kepastian keberlanjutan pendanaan,” ungkap Abdul Halim, Sabtu (20/09/2025).
Sejauh ini, TransJatim telah melayani jutaan penumpang melalui lima koridor utama, yakni Surabaya–Sidoarjo–Gresik, Mojokerto–Sidoarjo, Mojokerto–Gresik, Gresik–Lamongan, serta Surabaya–Bangkalan. Koridor keenam, Mojokerto–Sidoarjo, mulai beroperasi sejak pertengahan tahun ini.
Data Dinas Perhubungan Jawa Timur mencatat, sepanjang 2024 terdapat lebih dari 4,7 juta pengguna TransJatim dengan kontribusi pendapatan tiket mencapai Rp20,4 miliar. Angka ini diproyeksikan meningkat signifikan pada 2025 seiring pembukaan koridor baru.
Menurut Politisi Gerindra tersebut, layanan TransJatim tidak hanya difokuskan pada wilayah aglomerasi Surabaya Raya, tetapi juga perlu merambah ke lima Bakorwil lain, yakni Malang, Madiun, Jember, Madura, dan Bojonegoro.
“Harapannya TransJatim bisa hadir lebih merata. Karena kita tahu 61 persen pertumbuhan ekonomi Jawa Timur berasal dari wilayah aglomerasi seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, dan Lamongan. Tapi di luar itu, kebutuhan mobilitas juga besar. Oleh karena itu perlu pemerataan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya integrasi antarmoda. Ia menekankan, tanpa dukungan feeder dari pemerintah kabupaten/kota, masyarakat di desa dan perumahan akan sulit mengakses layanan TransJatim.
“Kalau sustainabilitas TransJatim ingin terjaga, kabupaten/kota harus menyiapkan feeder. Karena bus provinsi hanya bisa melayani di jalan poros. Masyarakat dari kampung, desa, dan perumahan butuh angkutan penghubung. Itu harus jadi tanggung jawab daerah,” tegasnya.
Keberhasilan TransJatim menyediakan tarif murah selama ini sangat bergantung pada subsidi dari APBD. Masyarakat umum hanya membayar Rp5.000 sekali jalan, sementara pelajar, mahasiswa, dan santri Rp2.500. Bahkan, skema integrasi antarkoridor memungkinkan penumpang tidak perlu membayar tambahan bila perjalanan masih dalam waktu dua jam.
Namun, konsekuensinya beban subsidi semakin besar. Pada 2025, alokasi subsidi TransJatim diproyeksikan mencapai Rp600–700 miliar. Hal ini menjadi tantangan karena provinsi kehilangan sebagian besar pendapatan dari pajak kendaraan bermotor akibat penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
“Kalau dulu provinsi dapat 70 persen, sekarang hanya 36 persen. Sisanya 64 persen masuk ke kabupaten/kota. Jadi ada reduksi pendapatan sekitar Rp4,5 triliun. Ini jelas mempengaruhi kemampuan kita dalam memberikan subsidi besar seperti TransJatim,” tuturnya.
Untuk mengantisipasi hal itu, DPRD bersama Pemprov mendorong pencarian sumber pendapatan asli daerah (PAD) alternatif. Salah satunya pemanfaatan kewenangan pengelolaan wilayah laut 0–12 mil sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
“Banyak aktivitas usaha di laut, mulai dari perikanan hingga tambang pasir, tapi kontribusinya selama ini ke pusat lewat PNBP. Padahal provinsi punya kewenangan. Ini harus kita gali agar jadi sumber PAD baru,” ujarnya.
Selain itu, DPRD juga menekankan pentingnya optimalisasi badan usaha milik daerah (BUMD) untuk menopang APBD. “BUMD harus dikelola lebih profesional. Kalau bisa menghasilkan pendapatan, subsidi TransJatim bisa lebih ringan bebannya bagi APBD,” pungkas Halim. (*)
Reporter: PRadhita
Editor : Lutfiyu Handi