11 September 2025

Get In Touch

Upeti Tari

Subakti Sidik - Wartawan Senior PWI
Subakti Sidik - Wartawan Senior PWI

OPIN (Lentera) -NEGARA jajahan harus rutin mengirim upeti. Bayangkan, sudah menderita jiwa raga. Masih diperas. Menyerahkan harta benda. Dituruti susah. Tak dituruti, bisa celaka. 

Itulah nasib pribumi Nusantara.Tersebutlah, Mangkunagoro VII yang diultimatum seorang Residen di Solo untuk menyerahkan emas - berlian pada Ratu Belanda, Wihelmina. 

Barang itu sebagai upeti, karena Sang Ratu, hendak menikahkan putrinya. 

Salah satu Adipati Surakarta, yang kala itu baru saja selesai membangun dua pabrik gula tak mampu menyerahkan barang yang diminta. Ia  berjanji, akan mengirim upeti dalam bentuk lain. Yaitu tarian.

Lho....ini aneh. Yang namanya upeti itu biasanya dalam bentuk uang atau barang. Upeti kok tari.

Residen pun emosi. Marah, lalu lapor pada Sang Ratu. 

Di luar dugaan. Ratu dengan bijaksana mengizinkannya. Kisah "upeti tari" ini terjadi pada 1937. Dan Selasa kemarin, 10-09-2025, peristiwa bersejarah itu dipentaskan dalam pertunjukan kethoprak.

Ini rangkaian Peringatan Hari Radio ke-80 di Solo. 

Apa hubungannya "upeti tari" dengan RRI?

Tarian tersebut dibawakan Gusti Nurul Kamaril Kusuma Wardani. Putri bangsawan cantik Pura Mangkunegaran itu tak langsung diiringi gamelan "Kyai Kanyut Mesem". 

Perlu biaya tinggi untuk memboyong perangkat gamelan dan penabuhnya (niyogo). Maka suara gamelan, dipancarkan Soloche Radio Vereeniging (SRV) dari Solo.

Ini adalah radio yang didirikan oleh Mangkunagoro. Inilah radio pertama di Bumi Nusantara.

Ketika berkunjung ke Belanda, Mangkunagoro VII mengetahui di Negeri Kincir Angin, banyak berdiri radio. Ia lalu tergerak hatinya, mendirikan radio di Solo.

Pada saatnya radio menjadi alat propaganda Kemerdekaan RI, dari Kota Bengawan sampai Den Haag, suara gamelan nyaring terdengar.

Gusti Nurul pun menari gemulai tanpa hambatan. Bayangkan, saat itu Hindia Belanda belum punya satelit. Mungkin lalu lintas radio belum seramai sekarang.  

Hingga pertunjukan usai. Tak ada gangguan sinyal. Ratu Wihelmina pun puas. Sang ratu terkagum-kagum dengan kecantikan alami Gusti Nurul. 

Bahkan terlontarkan pujaan: "Gusti Nurul is Bloem Van Java" (Gusti Nurul Bunga dari Jawa).

Pasangan pengantin Yuliana -  Pangeran Benhard pun tak kuasa menyembunyikan kegembiraannya.

Kisah pesta pernikahan mewah bersejarah. 

Utusan dari berbagai negara dan jajahan, geleng-geleng kepala. 

Gara-gara upeti luar biasa yang dikirimkan dari Solo, salah satu "kadipaten" jajahan Hindia Belanda.

Keberhasilan SRV memancarkan suara gamelan dalam jarak ribuan kilometer. 

Momen itulah yang selalu diingat, ketika Hari Radio Nasional diperingati. 

Kethoprak ini tak hanya menampilkan para seniman profesional. Tapi juga personil-personil yang bergerak di bidang penyiaran. Antara lain: Anas Sahirul yang Anggota Komisi Penyiaran (KPID) Jawa Tengah. 

Dia yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Surakarta, didapuk sebagai Tumenggung Mangkuprojo.

Menarik. Cara  peringatan, tak hanya seremonial, upacara.

Tapi dalam bentuk pagelaran seni budaya.  

Solo memang beda. 

Penulis: Subakti Sidik -Wartawan Senior PWI|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.