12 September 2025

Get In Touch

MPBI Soroti Tunjangan Rumah dan Transportasi Anggota DPRD Yogyakarta

Buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD DIY beberapa waktu lalu. (foto:ist/dok.Tribunjogja)
Buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD DIY beberapa waktu lalu. (foto:ist/dok.Tribunjogja)

YOGYAKARTA (Lentera) - Tunjangan rumah dan transportasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuai sorotan dari Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) setempat.

Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsad Ade Irawan menilai besaran tunjangan yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan mencerminkan ketimpangan sosial, terutama jika dibandingkan dengan kondisi buruh yang hanya mengandalkan upah minimum sekitar Rp2jutaan.

Berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 78 Tahun 2019, Ketua DPRD DIY menerima tunjangan rumah sebesar Rp 27,5 juta per bulan. 

Wakil ketua mendapatkan Rp 22,9 juta, sedangkan anggota Rp 20,6 juta.

Selain itu, Pergub DIY Nomor 77 Tahun 2024 menetapkan tunjangan transportasi sebesar Rp 22,5 juta untuk ketua, Rp 19,5 juta untuk wakil ketua, dan Rp 17,5 juta untuk anggota.

Jika dijumlahkan, seorang Ketua DPRD DIY bisa mengantongi hampir Rp 50 juta per bulan hanya dari dua jenis tunjangan itu. 

“Angka ini kontras dengan kenyataan hidup buruh dan pekerja di DIY yang mayoritas hanya mengandalkan upah minimum yang berada di kisaran Rp 2 jutaan. Sesungguhnya hal ini merupakan potret nyata ketimpangan,” ujar Irsad mengutip Tribunjogja, Selasa (9/9/2025).

Ia menambahkan, di tengah buruh yang sedang berjuang menghadapi himpitan ekonomi dan rakyat yang menyuarakan tuntutan 17+8 (kenaikan upah minimum 17 persen dan jaminan 8 kebutuhan dasar), wakil rakyat justru menerima tunjangan belasan hingga puluhan juta rupiah hanya untuk rumah dan transportasi. 

“Sulit rasanya bagi rakyat untuk percaya bahwa lembaga legislatif benar-benar mewakili kepentingan mereka,” katanya.

“Sama seperti buruh yang harus menerima upah murah dengan alasan sesuai aturan. Terlebih aturan sering kali dianggap lebih berpihak pada elite ketimbang menjawab kebutuhan rakyat pekerja,” ujarnya.

Ia menilai terdapat ketidakadilan distribusi anggaran publik, di mana pejabat menikmati fasilitas mewah, sementara masyarakat kesulitan membeli rumah akibat harga tanah yang tinggi.

“Ketimpangan ini dapat merusak legitimasi politik DPRD, lembaga yang seharusnya menjadi corong rakyat,” tegasnya.

Karena itu, MPBI DIY menuntut pemerintah pusat dan daerah meninjau ulang skema tunjangan pejabat publik.

Di saat yang sama, pemerintah juga diminta memenuhi tuntutan buruh terkait 17+8 sebagai langkah nyata memperkecil jurang ketimpangan sosial-ekonomi.

 

Editor: Arief Sukaputra

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.