
SURABAYA (Lentera)– Tradisi Maulidan atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan warisan budaya Islam yang hingga kini masih lestari di berbagai daerah Indonesia.
Peringatan yang jatuh setiap 12 Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah ini dikenal dengan beragam istilah.
Secara bahasa, maulid berarti hari kelahiran, sedangkan maulud merujuk pada sosok yang dilahirkan, yakni Nabi Muhammad SAW. Namun, masyarakat Jawa umumnya menyebutnya dengan istilah maulidan.
Akademisi Sastra dan Budaya Islam Universitas Airlangga (Unair), Ahmad Syauqi, S.Hum., M.Si., menjelaskan tradisi maulidan merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang berkembang sejak era Walisongo.
Syauqi mengungkapkan, tradisi maulidan memiliki makna religius sebagai wujud keimanan sekaligus ekspresi kecintaan kepada Rasulullah SAW, sosok teladan yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Selain itu, maulidan juga sarat nilai filosofis yang mencerminkan solidaritas sosial, gotong royong, dan menjadi media dakwah melalui simbol-simbol budaya. Beberapa contohnya adalah tradisi endog-endogan di Banyuwangi dan Kirab Ampyang di Kudus.
“Tradisi maulidan di setiap daerah memang berbeda-beda, tetapi esensinya sama: ungkapan syukur atas kebahagiaan menyambut kelahiran Rasulullah,” jelasnya, Jumat (5/9/2025).
Menurutnya, peringatan ini juga menjadi media pendidikan karakter untuk meneladani akhlak Rasulullah, seperti kejujuran, kedermawanan, menepati janji, serta sifat humanis.
Meski menghadapi arus modernisasi, tradisi maulidan terbukti tetap bertahan. Syauqi menilai, kemajuan teknologi justru memberi ruang baru dalam pelestarian tradisi.
“Kehadiran media sosial membawa perubahan signifikan. Tradisi bisa disiarkan secara live streaming, direkam, bahkan dikemas dalam bentuk video yang menarik,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kini beberapa daerah mengemas peringatan maulidan lebih sederhana dan formal, tanpa harus terpaku pada simbol-simbol tradisional.
“Yang terpenting adalah makna berkumpul dan memeriahkan kelahiran Nabi Muhammad SAW,” tambahnua.
Meski demikian, Syauqi menekankan pentingnya peran pendidikan dan komunitas untuk menjaga keberlanjutan tradisi.
“Pada dasarnya, maulid adalah wasilah atau perantara untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah dan memperkuat iman pada ajaran Islam,” pungkasnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH