26 August 2025

Get In Touch

Keruntuhan Biosfer Ancam 60% Daratan Bumi

Taman alami Ashaafean, cagar biosfer Libya pertama dan satu-satunya yang terdaftar di UNESCO, di Msallata, Libya. Foto: REUTERS
Taman alami Ashaafean, cagar biosfer Libya pertama dan satu-satunya yang terdaftar di UNESCO, di Msallata, Libya. Foto: REUTERS

SURABAYA (Lentera) - Sebuah penelitian terbaru dari Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman bersama BOKU University di Wina mengungkapkan hasil yang mengkhawatirkan terkait kondisi biosfer Bumi.

Biosfer merupakan lapisan Bumi yang menjadi ruang hidup bagi seluruh makhluk. Di dalamnya mencakup wilayah daratan, perairan, hingga udara, serta segala bentuk interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan tempat mereka berada.

Secara sederhana, biosfer dapat diartikan sebagai lapisan kehidupan di Bumi. Istilah "bios" berarti hidup, dan "sphere" berarti lapisan. Jadi, biosfer adalah lapisan yang dihuni oleh makhluk hidup dan tempat mereka berinteraksi.

Riset yang dipublikasikan di jurnal One Earth ini menyoroti konsep “integritas biosfer fungsional”, yakni kemampuan dunia tumbuhan menjaga proses vital seperti siklus karbon, air, dan nitrogen.

Hasilnya mengejutkan, 60 persen daratan dunia kini berada dalam kondisi berisiko, dengan sebagian besar masuk kategori berisiko tinggi. Para peneliti menggunakan berbagai metrik untuk menilai bagaimana aktivitas manusia memengaruhi biosfer global, dan mengaitkannya dengan isu besar lain seperti hilangnya keanekaragaman hayati serta krisis iklim.

Tekanan pada Biosfer 

Penulis utama studi, Fabian Stenzel, mengatakan peradaban manusia sangat bergantung pada biosfer, berguna untuk pangan, bahan baku, dan perlindungan iklim. Oleh karena itu, penting untuk kita mengukur beban yang ditimbulkan manusia terhadap biosfer.

Temuan studi menunjukkan sebagian besar daratan Bumi telah melewati ambang kritis, tidak lagi berada di zona aman untuk menjaga stabilitas planet. Eksploitasi besar-besaran, terutama dari sektor pertanian dan industri, bukan hanya mengancam ekosistem alami, tapi juga proses vital yang menopang kehidupan di Bumi.

Peta terbaru yang dibuat tim peneliti menggambarkan kondisi Bumi yang suram. Saat ini, 60 persen daratan global berada di luar zona aman biosfer. Dari angka itu, 38 persen daratan masuk kategori risiko tinggi, dengan wilayah di Eropa, Asia, dan Amerika Utara paling rentan.

Yang mengejutkan, titik kritis ini sebenarnya sudah tercapai jauh sebelum dampak perubahan iklim terlihat luas.

“Kerangka ini menempatkan aliran energi dari fotosintesis vegetasi dunia sebagai pusat dari proses yang ikut mengatur stabilitas planet,” ujar Wolfgang Lucht, koordinator studi sebagaimana dikutip Newsweek.

Sayangnya, energi vital dari tumbuhan yang menopang kehidupan di Bumi itu semakin banyak dibajak oleh aktivitas manusia, sehingga mengganggu siklus alami biosfer. Inilah salah satu penyebab utama risiko besar yang kini dihadapi ekosistem global.

Dampak Jangka Panjang 

Studi ini juga memberikan perspektif historis, menelusuri kondisi biosfer hingga abad ke-17. Dengan melacak perubahan iklim dan penggunaan lahan sejak tahun 1600, peneliti menemukan tekanan pada biosfer sudah meningkat sejak awal industrialisasi.

Pada 1900, hampir 37 persen daratan sudah berada di luar zona aman, dengan 14 persen masuk kondisi risiko tinggi. Artinya, krisis hari ini bukan hanya akibat perubahan iklim modern, melainkan akumulasi dari ratusan tahun konversi lahan dan eksploitasi sumber daya. Ekspansi pertanian dan industrialisasi telah mendorong Bumi semakin dekat ke ambang keruntuhan ekologi.

Johan Rockström, Direktur Potsdam Institute, menyebut peta baru ini sebagai terobosan ilmiah penting. Ia mendesak pemerintah dunia mengadopsi pendekatan 
terpadu.

“Pemerintah harus memperlakukannya sebagai satu isu besar, perlindungan biosfer secara komprehensif yang berjalan seiring dengan aksi iklim yang kuat,” katanya.

Seruan ini menegaskan bahwa melindungi biosfer Bumi adalah kunci untuk meredam perubahan iklim. Studi ini menekankan pentingnya peran penyerap karbon alami dan keanekaragaman hayati dalam menjaga iklim, serta perlunya kebijakan internasional yang lebih kuat untuk melindungi keduanya.

Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.