
SURABAYA (Lentera) — Bagi sebagian orang, keris masih sering diasosiasikan dengan dunia mistis. Film-film horor sejak era 1980-an hingga kini kerap menggambarkannya sebagai benda angker, sakti, bahkan menakutkan. Namun, bagi Kanjeng Raden Arya (KRA) Rivo Cahyono Setyonegoro, seorang kolektor berdarah Tionghoa asal Surabaya, keris justru adalah warisan budaya luhur yang sarat nilai sejarah dan kebanggaan bangsa.
“Kita harus mengembalikan citra keris pada nilai yang benar, luhur, bersejarah, dan membanggakan,” tegas Rivo, saat ditemui dalam salah satu acara komunitas pecinta keris, Kamis (21/8/2025).
Kecintaan Rivo pada dunia perkerisan bermula pada tahun 2016. Perlahan, ia membangun koleksi yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 1.000 bilah keris dari berbagai era, bahkan ada yang berusia hampir 1.200 tahun, berasal dari abad ke-9. Harga setiap keris pun beragam, dari ratusan ribu rupiah hingga menyentuh angka miliaran.
Namun, bagi Rivo, keris bukan sekadar benda pusaka atau komoditas investasi. Ia melihatnya sebagai simbol perjuangan dan identitas budaya Nusantara. Lewat kanal YouTube Ethnic Indonesia, ia membagikan pengetahuan tentang sejarah, filosofi, hingga estetika keris. Pendekatan visual modern dan narasi ringan membuat kontennya diminati generasi muda yang sebelumnya mungkin hanya mengenal keris sebagai “barang mistis”.
“Banyak anak muda yang akhirnya tertarik setelah melihat keris dari perspektif budaya dan sejarah, bukan mistis. Itu yang membuat saya yakin kalau edukasi digital penting,” jelasnya.
Tak berhenti di ruang digital, Rivo juga mengaktualisasikan visinya dalam bentuk nyata. Ia mendirikan Yayasan Ethnic Indonesia Berbagi, yang tidak hanya memberikan beasiswa bagi calon empu muda di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, tetapi juga menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat kurang mampu.
Melihat potensi budaya sebagai motor ekonomi, ia menggagas Koperasi Ethnic Indonesia Sejahtera, sebuah wadah permodalan bagi UMKM yang berbasis budaya. Melalui koperasi ini, para pelaku usaha kecil didorong untuk mengembangkan produk bernuansa tradisi yang bernilai tambah di pasar modern.
Dedikasi Rivo tidak luput dari perhatian. Ia menerima gelar kehormatan Kanjeng Raden Arya (KRA) dari Sri Susuhunan Pakubuwana XIII, Keraton Surakarta Hadiningrat.
Bahkan, Presiden Prabowo Subianto memberikan apresiasi khusus, menyampaikan kebanggaannya terhadap kiprah Rivo sebagai seorang keturunan Tionghoa yang justru gigih melestarikan warisan budaya Nusantara. Presiden meminta Rivo untuk terus berkomitmen menjaga pusaka bangsa sebagai identitas nasional yang tidak ternilai.
Langkah Rivo juga mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak. Kolonel (Mar) Sunardi Suryo Kusumo, penasihat Yayasan Ethnic Indonesia Berbagi, mendorong Rivo mendirikan museum keris di Jawa Timur sebagai pusat edukasi budaya. Ia juga menyarankan agar pemerintah segera menerbitkan buku budaya Nusantara yang bisa digunakan di sekolah-sekolah.
“Pusaka bukan sekadar senjata, tetapi sarat pesan moral dan nilai luhur. Inilah yang harus diwariskan kepada generasi penerus,” ujar Sunardi.
Kini, di tangan Rivo, keris bukan lagi sekadar artefak yang tersimpan di balik kaca museum, apalagi sekadar properti film horor. Ia berhasil mengangkat keris ke panggung yang lebih relevan: sebagai identitas bangsa, medium edukasi, sekaligus aset investasi bernilai tinggi.
Perjalanan Rivo membuktikan bahwa pusaka Nusantara bisa kembali hidup dalam semangat generasi muda. Dengan dedikasi, kreativitas, dan inovasi, ia menuntun keris keluar dari bayang-bayang mistis menuju era kebanggaan budaya dan pemberdayaan ekonomi. (*)
Reporter : Lutfiyu Handi
Editor : Arief Sukaputra