
Surabaya – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) mengutuk keras pembunuhan terhadap Demas Laira (28), wartawan media siber kabardaerah.com, yang berbasis di Sumantra Barat (Sumbar).
Korban ditemukan wafat mengenaskan di Kecamatan Karossa, Mamuju Tengah, Kamis (20/8/2020), dini hari. Di tubuhnya diketahui ada tujuh luka tikaman.
“Dengan dalil dan motif apapun, segala bentuk kekerasan apalagi sampai terjadi pembunuhan terhadap insan pers, merupakan perbuatan biadab. Kami mengutuk keras tragedi yang masih dialami oleh rekan-rekan wartawan dalam menjalan tugas profesi wartawan,” Ketua SMSI Jatim H. Samiadji Makin Rahmat, SH, MH, dan kaukus wartawan, di Jawa Timur, Sabtu (22/8/2020).
Makin Rahmat menandaskan rentetan peristiwa yang masih mengancam jiwa awak media seharusnya tidak hanya diusut dari peristiwa kriminal semata. Hal ini tidak lepas dari tugas dan fungsi pers bagian dari empat pilar demokrasi, punya tugas berat melakukan kegiatan profesi yang tidak bisa dilepaskan dari dampak pemberitaan.
“Masih ingat kasus Udin, wartawan Bernas. Begitu ditelusuri terkait dengan penguasa. Maka, dalam kasus meninggalnya Demas Laira, kami mengharap Menko Polhukam Pak Machfud MD ikut memantau, bila memungkinkan menurunkan dan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), sehingga pengusutan bisa menjalan cermat, teliti, dan fair serta tuntas,” ulas pria yang juga seorang advokad ini.
Keberadaan TPF, bisa menopang tugas kepolisian dalam mengungkap secara fair dan fakta atas terjadinya pembunuhan dari berbagai sumber dan motif. Setidaknya, dalam lingkup Kepolisian (Polri) dibantu unsur tokoh pers, advokat, LSM, tokoh masyarakat dan akademisi.
“Bila yang diusut hanya peristiwa pidana atau kriminal saja, maka seseorang atau pihak yang merasa disudutkan dari pamberitaan bisa menyewa preman atau algojo untuk menghabisi wartawan yang bermasalah di lapangan. Sehingga fungsi pers sebagai kontrol sosial, menyampaikan informasi akurat, faktual, dan aktual kepada masyarakat menjadi terbelenggu. Ini harus jadi catatan serius bagi pemerintahah Jokowi,” tandas Makin Rahmat.
Akibatnya, keamanan dan keadaan di daerah kurang kondusif. Tentu dari rentetan peristiwa, jika terjadi pembiaran atau hanya diungkap secara samar di permukaan saja, tanpa mengupas tuntas di balik kejadian yang sesungguhnya, maka publik hanya memandang dari sudut sempit saja.
Fakta di lapangan, menurut Makin Rahmat, hampir rangkaian peristiwa kekerasan dan pembunuhan yang dialami media, terkait dengan pemberitaan. Jika kriminal cukup menjadi kewenangan aparat kepolisian untuk mengungkap dan menyerahkan berkas ke Kejaksaan serta kewajiban Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuktikan di persidangan.
Sebaliknya, bila dalam pelaksanaan di lapangan ditemukan kejanggalan atau pelanggaran kode etik, maka nara sumber dan pihak-pihak yang merasa dirugikan menempuh jalur sesuai dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Kami juga minta rekan-rekan wartawab dibekali identitas sebagai insan pers dengan ID Card dari media pers yang berbadan hukum PT, setidaknya mengikuti organisasi wartawan atau media yang sudah kompeten di Dewan Pers, dan mau belajar tentang kondisi daerah yang potensi terjadi kerawanan dan dampak social. Ini memang resiko yang sulit dihindari,” pungkasnya. (Ist)