
JAKARTA (Lentera) - Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arif Budi Raharjo, menggukap hilangnya jejak Harun Masiku saat di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat karena dibantu Nur Hasan.
Arif mengatakan saat itu dia bersama timnya sedang melakukan pengintaian terhadap Harun. Ketika itu, dia mendapat informasi dari posko yang menyatakan sinyal dari nomor handphone Harun Masiku yang disadap tiba-tiba hilang. Kemudian, Arif mendapat panggilan dari posko yang menyampaikan bahwa ada komunikasi antara Nur Hasan dan Harun.
"Pada saat kami kehilangan posisi Harun di Grand Hyatt," kata Arif pada saat memberikan kesaksian di sidang terdakwa Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025) dikutip dari tempo.
Setelah itu, Arif meminta posko melacak nomor handphone Nurhasan. Dari situlah diketahui kalua Harun Masiku meminta Nurhasan menjemputnya karena ada pertemuan di DPP PDIP.
Ketika mendapat lokasi Nurhasan, tim Arif pun mengenjar mereka. Namun karena kondisi lalu lintas di sekitar Grand Hyatt macet, tim penyelidik kehilangan jejak mereka. Padahal, penyelidik sudah berusaha mengejar Harun dan Nurhasan dengan keluar mobil dan berlari.
Di satu sisi, Politikus PDI Perjuangan, Guntur Romli, menilai saksi penyelidik dari KPK, Arif Budi Raharjo, tidak relevan dengan kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap yang menyerat Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa.
Menurutnya, penyelidik maupun penyidik KPK bukan merupakan saksi fakta lantaran tidak melihat, mendengar, serta mengalami langsung peristiwa yang dialami dalam kasus Hasto.
Adapun sebelumnya KPK juga telah menghadirkan penyidik sebagai saksi dalam sidang kasus Hasto, Jumat (9/5/2025), yakni Rossa Purbo Bekti.
"KPK telah memaksakan diri dengan menghadirkan saksi-saksi penyidik dari KPK yang mereka sebut sebagai saksi fakta," tuturnya.
Guntur Romli juga menilai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2016-2024 Hasyim Asyari tidak relevan menjadi saksi dalam sidang kasus Hasto.
Sebab, kata dia, kasus yang menimpa Hasto saat ini bukan perkara pergantian antarwaktu (PAW) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Ini yang dituduhkan kasus suap dan pasal obstruction of justice. Hasyim Ashari tidak memiliki relevansi dengan dua kasus yang dituduhkan ini, begitu," kata Guntur saat ditemui di sela persidangan kasus Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (16/5/2025) dilansir dari antara.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi, yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka, pada rentang waktu 2019–2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2017–2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya bernama Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku telah memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019–2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih asal Dapil Sumsel I atas nama anggota DPR periode 2019–2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. (*)
Editor : Lutfiyu Handi
Berbagai Sumber