
MALANG (Lentera) - Pakar hukum pidana Universitas Islam Malang (Unisma), Dr. Arfan Kaimuddin, SH., MH., menegaskan visum psikis dapat menjadi alat bukti krusial dalam membongkar kasus pelecehan seksual. Ia menyebutkan, meski kerap tanpa saksi, kekuatan pembuktian tetap bisa diperoleh jika korban didampingi secara psikologis dan berani bersuara.
Saat ini, fenomena dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum tenaga medis tengah menjadi sorotan. Di Kota Malang, dua perempuan berinisial QAR dan A melaporkan dugaan pelecehan seksual yang mereka alami saat menjalani perawatan di salah satu rumah sakit swasta. Keduanya menyebut dokter berinisial YA sebagai terduga pelaku.
"Dalam kasus pelecehan seksual, korban bisa sekaligus sebagai saksi korban. Barangkali hal yang sulit adalah menguatkan korban sendiri untuk menceritakan apa yang dialami. Itu disebabkan oleh tekanan mental akibat tindak pidana yang terjadi pada dirinya," ujar Arfan, Kamis (24/4/2025).
Menurutnya, tekanan psikologis yang dihadapi korban sering kali membuat mereka kesulitan untuk mengungkap apa yang dialami. Di sinilah pentingnya kehadiran tenaga ahli seperti psikolog atau psikiater untuk mendampingi selama proses hukum berlangsung.
Dekan Fakultas Hukum (FH) Unisma ini juga menjelaskan, pembuktian dalam kasus pelecehan seksual berbeda dengan tindak pidana biasa. "Kejadian seperti ini biasanya terjadi di ruang tertutup, sehingga minim saksi. Maka visum, baik fisik maupun psikis, bisa menjadi bukti penting di pengadilan," paparnya.
Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, pelecehan seksual tidak selalu meninggalkan jejak fisik yang bisa divisum secara medis. Namun, visum psikis dapat menunjukkan dampak traumatis yang dialami korban, dan itu memiliki kekuatan hukum.
"Kalau pemerkosaan mungkin bisa dideteksi dengan visum fisik, seperti adanya robekan, dan sebagainya. Tapi untuk kasus seperti menyentuh tanpa izin, visum fisik sering kali nihil. Maka visum psikis bisa menjadi jawaban, karena bisa menunjukkan gangguan psikologis akibat kejadian itu," lanjut Arfan.
Untuk diketahui, dalam dua kasus yang mencuat di Malang, QAR mengaku mengalami dugaan pelecehan seksual saat dirawat di ruang VIP pada 2022. Dokter YA disebut masuk tanpa didampingi perawat dan menyentuh area intim korban tanpa persetujuan.
Sementara A mengaku mengalami kejadian serupa di IGD pada 2023, di RS yang sama, saat pemeriksaan dilakukan di balik tirai tertutup.
Arfan menekankan, keberanian korban untuk bersuara sangat penting. "Korban tidak perlu takut untuk speak up. Apalagi saat ini sudah ada lembaga perlindungan saksi dan korban yang siap mendampingi. Proses hukum harus tetap berjalan," tegasnya.
Terkait dengan asas praduga tak bersalah, Arfan mengingatkan penggunaan visum psikis tidak serta-merta melanggar prinsip tersebut.
Lebih jauh, ia menegaskan korban tidak perlu takut terhadap potensi ancaman tuntutan balik pencemaran nama baik yang dapat dilakukan oleh terduga pelaku.
"Selama proses itu dilakukan sesuai dengan prosedur, tuntutan pencemaran nama baik itu sulit dilakukan. Tentu penegakan hukum harus terus dilakukan, gak boleh takut atas tuntutan balik terkait pencemaran nama baik. Jadi yang dilihat perspektif korbannya, bukan pelakunya," pungkas Arfan. (*)
Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi