29 April 2025

Get In Touch

Pelaku Usaha Perhotelan di Kota Malang Berharap Pemerintah Longgarkan Efisiensi Anggaran

(Ilustrasi) Pengunjung salah satu hotel di Kota Malang. (Santi/Lentera)
(Ilustrasi) Pengunjung salah satu hotel di Kota Malang. (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Pasang surut mewarnai bisnis perhotelan di Kota Malang sepanjang Ramadan hingga usai libur Lebaran 2025, setelah sempat terpuruk akibat rendahnya tingkat hunian selama bulan puasa. Sektor ini kembali menggeliat saat momen libur Lebaran, namun lonjakan okupansi tersebut dinilai hanya berlangsung singkat.

Kini, pelaku usaha perhotelan kembali dihantui grafik penurunan. Hingga meminta pemerintah melonggarkan kebijakan efisiensi anggaran yang dinilai menekan potensi pemulihan sektor tersebut.

"Saat puasa atau di Maret 2025, kondisi okupansi turun hampir menyentuh 50 persen. Bahkan hampir mirip seperti saat pandemi Covid-19. Tapi di Jabar dan Jateng, okupansinya juga turun 20 persen. Kalau biasanya bisa mencapai 90 persen, saat ini turun hingga sampai 50 persen," ujar GM Hotel Alana, Sistho A Sreshtho, Jumat (11/4/2025). 

Sistho menilai, salah satu faktor utama turunnya okupansi adalah kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah.Namun, Sistho mengatakan, kondisi ini sempat berbalik menjelang Lebaran kemarin. Sejak H+2 hingga H+3 Idul Fitri, okupansi hotel melonjak signifikan, bahkan kembali menembus angka di atas 90 persen.  Kenaikan ini juga dirasakan secara merata di berbagai wilayah, termasuk Malang, Yogyakarta, hingga Jawa Barat.

"Kami bersyukur sempat terobati dengan tingginya okupansi selama libur Lebaran. Tapi sekarang grafiknya kembali menurun. Tren ini yang  membuat kami waswas," tambahnya.

Dibandingkan dengan tahun lalu, menurutnya situasi pasca Lebaran tahun ini tampak lebih sepi. Biasanya seminggu setelah Idul Fitri, hotel-hotel mulai ramai kembali karena banyaknya agenda pertemuan dari pemerintah maupun swasta. Namun tahun ini, Hotel Alana belum mencatatkan satu pun pemesanan dari instansi pemerintahan.

Sebagaimana diketahui, pemerintah pusat maupun daerah kini lebih selektif dalam menyelenggarakan rapat atau kegiatan dinas di hotel. Dampaknya sangat terasa bagi industri perhotelan, yang selama ini mengandalkan permintaan dari instansi pemerintahan.

Demi bertahan, pihak hotel mulai melakukan berbagai langkah efisiensi. Dari pengurangan konsumsi listrik, penyusutan porsi makanan, hingga mempertimbangkan opsi merumahkan sementara sebagian karyawan jika situasi tak kunjung membaik.

Dirinya juga mengaku tak memaksa kebijakan efisiensi anggaran untuk dicabut sepenuhnya, namun meminta agar kuantitasnya bisa ditingkatkan kembali, meski hanya separuh dari sebelumnya.

"Misalnya dibatasi 50 persen, tapi tetap jalan. Itu sudah membantu kami bertahan. Karena kegiatan dari instansi pemerintah adalah salah satu penopang utama okupansi hotel," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang, Agoes Basuki mencatat selama libur Lebaran okupansi harian hotel di Kota Malang mencapai rata-rata 80 persen, angka ini menurutnya tidak jauh berbeda dibanding tahun sebelumnya.

"Setelah itu, mulai landai lagi. Maka ke depan, hotel harus mulai lebih kreatif memasarkan wisata agar tidak tergantung pada agenda instansi," ujarnya.

Saat ini terdapat lebih dari 3.500 kamar hotel di Kota Malang yang pada masa libur Lebaran hampir seluruh kamar terisi penuh, namun selepas masa puncak liburan tantangan besar menanti pelaku industri untuk menjaga kelangsungan okupansi. 

"Perhotelan harus bisa menarik wisatawan datang ke tempatnya karena tidak bisa lagi mengandalkan kegiatan pertemuan oleh pemerintahan," tuturnya. 

Reporter: Santi Wahyu

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.