
TRENGGALEK (Lenteratoday) - Tingkat kehadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 27 November 2024 di Trenggalek hanya mencapai 62,5 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 591.840.
Berdasarkan hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Trenggalek, faktor utama penurunan ini adalah kurangnya sosialisasi yang efektif, minimnya inovasi, serta rendahnya pendidikan politik di kalangan masyarakat.
Komisioner Bawaslu Trenggalek Divisi Pencegahan, Parmas, dan Humas, Imam Maskur, menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama adalah kurang maksimalnya sosialisasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Sosialisasi yang dilakukan kurang efektif dan mengena, sehingga partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihannya menurun drastis. Selain itu, minimnya informasi tentang tata cara memilih juga menyebabkan tingginya suara tidak sah,” ujar Imam, Jumat (29/11/2024).
Dari hasil monitoring dan rekap data sementara di TPS, jumlah suara sah dan tidak sah hanya mencapai 370.128 suara. Padahal, KPU Trenggalek menargetkan tingkat partisipasi sekitar 75 persen dari total DPT.
Imam Maskur juga menyoroti sasaran sosialisasi KPU yang dinilai tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. “Sasaran sosialisasi hanya menyasar kelompok tertentu dan terkesan formalitas saja. Harusnya sosialisasi dilakukan di tingkat desa seperti forum RT/RW atau komunitas lokal,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Imam menyarankan pembentukan Relawan Demokrasi untuk menyasar masyarakat secara langsung. “Relawan ini bisa mengunjungi rumah-rumah warga untuk memberikan informasi dan sosialisasi secara personal,” ungkapnya.
Menurut Bawaslu, inovasi dalam sosialisasi juga masih minim. “Masyarakat butuh dorongan untuk hadir ke TPS. Misalnya, dengan mengadakan undian hadiah bagi mereka yang datang mencoblos,” kata Imam.
Peran strategis partai politik dalam memberikan pendidikan politik juga dinilai belum maksimal. “Kampanye partisipatif yang melibatkan tokoh masyarakat dan pimpinan komunitas masih kurang, sehingga partisipasi masyarakat rendah,” tambah Imam.
Faktor lain yang turut memengaruhi adalah pola pikir transaksional di kalangan masyarakat. “Masih ada pola pikir ada uang, ada suara. Kebiasaan ini terus berulang di setiap pemilu,” jelasnya.
Terakhir, Imam menekankan pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat. “Latar belakang pendidikan dan pekerjaan juga berpengaruh terhadap partisipasi. Pendidikan politik yang memadai akan membantu masyarakat memahami pentingnya pemilu dalam menentukan nasib lima tahun ke depan,” tutup Imam Maskur.
Reporter: Herlambang|Edit: Aifin BH