
KEDIRI (Lenteratoday) – Rumah di Jl. Dr Sutomo 61 B, RT/RW 02/01 Kelurahan Banjaran, Kecamatan Kota, Kota Kediri yang ditinggali Wahyu Widodo (44) bersama satu putrinya terlihat memprihatinkan. Ironisnya, rumah berukuran 3 x 4 meter persegi yang bertahun-tahun telah ditinggali Widodo itu belum pernah mendapatkan bantuan, berupa perbaikan atau renovasi, dari Pemkot Kediri.
Dinding rumah menggunakan anyaman bambu, meski ada sedikit menggunakan bahan bangunan permanen. Dinding bambu itupun sudah dalam kondisi memprihatinkan, banyak yang lubang dan juga sudah mulai rapuh. Demikian juga dengan cendelanya, yang sebagian sudah rusak.
Kondisi genteng rumah juga cukup menyedihkan, bahkan sudah melengkung karena aku penahannya sudah lemah. Tentu kondisi ini memprihatinkan karena rawan runtuh terlebih lagi menghadapi musim hujan yang menambah beban genteng.
Padahal, rumah Widodo hanya berjarak beberapa meter dari dari rumah mantan Wali Kota Kediri, Abu Bakar. Tampak jelas kondisi rumah sangat tidak layak huni, sebagian dindingnya memakai anyaman bambu dan rumahnya tampak doyong.
Kota Kediri yang digadang-gadang dan digemborkan sebagai Kota Bahagia namun tidak “menyentuh” Wahyu Widodo yang membutuhkan empati alias perhatian usai tempat tinggalnya bisa dikatakan “Reot”.
Ditemui di rumah, Wahyu Widodo berkeluh kesah bahwa, sudah berkali kali mengajukan bantuan lewat Pemkot tidak disetujui. “Di sini yang menempati hanya saya dan anak perempuan saya, sudah berkali kali saya “manut” untuk mengajukan bantuan rehab rumah, tapi hasilnya ditolak,” ungkap Wahyu, Jumat (15/11/2024) siang.
“Ya lewat RLTH, dan yang lain saya tidak faham, saya orang awam. Namun yang jelas kalau disuruh untuk melengkapi administrasi pengajuan untuk membenahi rumah, secepatnya saya lakukan demi keluarga yang aman dan nyaman,” kata Wahyu sambil menundukkan wajahnya.
Selanjutnya Wahyu menjelaskan, ia tidak patah semangat, tetap berusaha bertahan hidup, mencari nafkah dengan cara apapun dilakukan asalkan itu halal.
“Sehari hari saya bekerja serabutan, juga menjadi seksi kepala keamanan di kelurahan, sudah 20 tahun saya menempati rumah ini, dan keadaan masih sama sampai sekarang,” jelasnya.
Selanjutnya Wahyu berharap, ada empati dari siapapun untuk membenahi rumahnya, sebab kalau musim hujan datang, banjir akan menggenangi tempat tinggalnya hingga setinggi mata kaki orang dewasa,” ungkap Wahyu Widodo.
Di sisi lain, sang kakak ipar Wahyu Dolly menambahkan, ironis memang, rumah adik saya seperti itu keadaannya. ”Tapi Pemkot tidak bisa membangunnya, sedangkan rumah saya aja bisa dibangun padahal juga lewat program PNPM pada waktu itu ,” jelasnya.
Diketahui, rumah Wahyu yang berukuran 3 kali 4 ini memang belum bersertifikat hak milik (SHM), jadi mungkin untuk prosedur di birokrasi Pemkot tidak bisa ditindaklanjuti karena terkendala payung hukum yang menaunginya.
Apakah tidak ada diskresi kebijakan pemerintah yang berpihak kepada “wong cilik”, ataukah tidak ada kader-kader pemerintah daerah setempat tutup mata pada tugas pokok dan fungsinya, seperti lembaga kemasyarakatan kelurahan (LKK), lembaga yang dibentuk masyarakat sebagai mitra lurah dalam memperdayakan masyarakat. (*)
Reporter: Gatot Sunarko | Editor : Lutfiyu Handi