
Jakarta-Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yakni paling mahal Rp 150 ribu. Jika melanggar, aparat akan langsung menindak.
Terkait keluhan bila tarif batas atas itu merugikan layanan kesehatan, Kemenkes mengatakan harga di produsen sudah turun jadi Rp 72 ribu.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Bambang Wibowo menegaskan bahwa penetapan biaya maksimal rapid test antibodi merupakan upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan akses dan keterjangkauan masyarakat.
“Pembatasan harga merupakan Jawaban pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat agar ada kewajaran harga di masyarakat,” kata Bambang dalam keterangan tertulis, Jumat (10/7).
Kemenkes melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan telah mematok batasan harga pemeriksaan rapid test antibodi sebesar Rp 150.000. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran No HK 02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi.
Dalam edaran tersebut menyebutkan besaran tarif tertinggi, berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test antibodi atas permintaan sendiri.
Bambang menuturkan, kebijakan pengaturan batas tarif rapid test antibodi telah dibicarakan dalam rapat bersama Gugus Tugas Penanganan COVID-19 dan dihadiri oleh beberapa Menteri Koordinator.
Hasilnya, disepakati bahwa tarif rapid test antibodi perlu diatur agar tidak terjadi komersialisasi harga. Serta mengutamakan keterjangkauan masyarakat, yang penting fasyankes tidak mengalami kerugian.
“Dianjurkan agar diatur harganya, semuanya keberpihakan kepada masyarakat dan pada kewajaran. Tentunya akan memberikan kemudahan akses dan keterjangkauan,” tutur Bambang.
Pemberlakuan batasan tarif rapid test, kata Bambang mendapatkan respons yang baik. Hal ini ditandai dengan penurunan harga di tingkat produsen dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dari kalkulasi yang dia dilakukan, kini harga rapid test antibodi di tingkat produsen sudah turun, berkisar Rp 72 ribu.
“Ya, pasti kalau ada RS yang mengenakan biaya di atas itu akan ada sanksinya, pasti itu. Wewenangnya di luar Kemenkes, nanti ada aparat sendiri yang akan melakukan itu, ” kata Menko PMK Muhadjir Effendy di Gedung Kemenko PMK, Kamis (9/7).
Namun Muhadjir tak merinci sanksi apa yang dimaksud. Apakah denda, pidana atau pembekuan izin.'Tapi yang jelas ada sanksi," kata dia.(ist)