
Jodi Eichler-Levine baru saja selesai mengajar kelasdaring via Zoom dan ia langsung terlelap di ruang kerjanya.
Profesor studi agama di Lehigh University inimengatakan, meskipun kegiatan mengajar selalu melelahkan, ia tidak pernahsampai hampir pingsan seperti itu.
Eichler-Levine biasanya memimpin kelas secaralangsung di mana ia dengan mudah mengukur emosi murid-muridnya, bahkan ketikasedang membahas topik berat.
Kini, seperti banyak orang di seluruh dunia, pandemiCovid-19 telah mendorong hidup Eichler-Levine ke ruang virtual.
Selain mengajar jarak jauh, ia juga harus menghadirirapat departemen, juga berkomunikasi dengan teman-temannya melaluiaplikasi videoconference, Zoom.
“Ini rasanya seperti berakting karena kita hanyaterlihat dalam kotak kecil di layar. Saya benar-benar lelah,” kataEichler-Levine.
Banyak orang mengatakan bahwa mereka memilikipengalaman yang sama sehingga fenomena ini pun kerap disebut sebagai “Zoom Fatigue”.
Namun, tidak hanya dengan Zoom, kondisi tersebutjuga kerap dirasakan mereka yang menggunakan Google Hagouts, Skype, FaceTime,atau jenis videocall lainnya.
Ledakan penggunaan video call inipun mengarahkan pada eksperimen sosial yang tidak pernah terjadi sebelumpandemi Covid-19. Hasilnya menunjukkan bahwa interaksi virtual bisasangat memengaruhi otak.
“Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwamanusia benar-benar kesulitan karena hal ini,” kata Andrew Franklin, asistenprofesor ilmu psikologi siber di Norfolk State University.
Menurutnya, orang-orang terkejut dengan betapasulitnya melakukan panggilan video yang terbatas pada layar kecil dan banyaknyagangguan.
Namun,selain itu, ada juga makna tambahan yang berasal dari lusinan isyarat nonverbal,seperti apakah lawan bicara menghadap Anda atau buang muka, gelisah, ataumenghela napas dan siap untuk menyela.
Isyarat nonverbal tersebut membantu melukiskangambaran holistik tentang apa yang disampaikan dan diharapkan sebagai responsdari pendengar. Karena manusia merupakan makhluk sosial, memahami isyarat inimenjadi hal alami bagi sebagian besar orang.
Video call merusak kemampuan yang tertanam ini dan membutuhkanperhatian intens pada kata-kata. Jika tampilan seseorang yang terlihat hanyadari kepala hingga bahu, maka sulit memperhatikan gerakan tangan atau bahasatubuh lainnya. Belum lagi, jika kualitas videonya buruk, harapan untukmendapatkan sesuatu dari ekspresi wajah bisa hilang.
“Bagi orang-orang yang sangat bergantung padaisyarat nonverbal, tidak bisa berbicara langsung akan sangat melelahkan,” kataFranklin.
Tatapan mata adalah isyarat nonverbal terkuat yangtersedia pada video call, tapi itu bisa menjadi terasa mengancamjika dilakukan dalam waktu lama.
Tidak hanya itu, layar berlipat ganda yang munculsetiap melakukan video conference juga menimbulkan masalahkelelahan tersendiri. ‘Gallery view’—di mana setiap partisipan rapat tampilbersamaan—menantang penglihatan sentral otak, memaksanya memecahkan kode banyakorang sekaligus sehingga tidak ada siapa pun yang memahami, bahkan si pembicaraitu sendiri.
“Kita terlibat dalam berbagai kegiatan, tetapi tidaksepenuhnya mengabadikan diri pada hal khuhus,” kata Franklin. Bayangkan betapasulitnya untuk memasak dan membaca dalam waktu bersamaan, dan itulah yangdilakukan otak ketika melakukan konferensi video.
Secara keseluruhan, obrolan video telah memungkinkankoneksi manusia berkembang dengan cara yang tidak mungkin dilakukan beberapatahun yang lalu.
Sangat mungkin bahwa ‘Zoom Fatigue’ ini akan meredasetelah orang-orang belajar menavigasi mental mereka. Jika Anda merasa canggungdan butuh sedikit ketenangan, matikan kamera Anda.
Atau jika rapat kantor dapat dilakukan lewat telepon saja, lakukan sambil berjalan kaki yang diketahui dapat meningkatkan kreativitas dan mengurangi stress. Artikel ini sudah tayang di E-Paper Lentera Today edisi hari ini (Rabu, 24/6/2020) -Ist/abh.