
LONDON (Lenteratoday) - China dan Indonesia akan mengurangi produksi nikel setidaknya 100.000 metrik ton tahun ini. Para produsen berusaha membatasi kerugian setelah merosotnya harga logam yang digunakan untuk pembuatan baja tahan karat dan untuk mobil listrik.
Menurut Jim Lennon, seorang ahli strategi di Macquarie mengatakan bahwa untuk menyeimbangkan pasar, perlu memotong tambahan produksi sebesar 100.000 ton. Ini dilakukan setelah keputusan untuk membatasi gangguan sebesar 3 persen atau 100.000 ton.
"Dengan harga NPI (nickel pig iron) di sekitar $11.000 (per ton), seharusnya ada penyesuaian pasokan di China dan Indonesia," katanya dikutip dari CNA, Senin (12/2/2024).
Lennon memperkirakan bahwa biaya produksi NPI adalah $10.000-$11.000 per ton dan $12.000 per ton di Indonesia dan China. Ini berarti sangat sulit untuk menghasilkan keuntungan.
Analis di Bank of America juga mengungkapkann dengan biaya bahan baku, termasuk bijih nikel, listrik dan batu bara, yang mencapai 73 persen dari harga NPI, banyak pabrik NPI di RRT yang menjadi tidak menguntungkan.
CEO Anglo American, Duncan Wanblad, mempertanyakan apakah nikel untuk membuat baterai dapat memiliki harga lebih tinggi.
"Saya bertanya-tanya apakah ada potensi percabangan dalam kurva biaya nikel atau nikel yang digunakan untuk baja tahan karat. Mungkin nikel ini sangat berbeda dengan nikel yang digunakan untuk aplikasi baterai," kata Wanblad kepada Reuters di sela-sela African Mining Indaba pekan lalu.
"Oleh karena itu, jika itu benar, maka harus ada dua harga nikel yang berbeda untuk menangani kedua hal tersebut," tambahnya.
Anglo menambang nikel di tambang Barro Alto, Brasil sebagai produk sampingan dari bisnis platinum group metals (PGM) di Afrika Selatan.
Para penambang Barat harus mengelola aset-aset mereka di Kaledonia Baru, Australia, dan Kanada, bahkan saat produksi mereka tidak menghasilkan keuntungan, kecuali jika harga naik. Mereka mungkin akan memangkas lebih banyak produksi, seperti yang dijelaskan oleh para pedagang.
Sementara para pedagang dan analis mengungkapkan bahwa pemotongan lebih lanjut akan diperlukan jika produsen ingin mendongkrak harga dan menghilangkan surplus dari pasar, bukan hanya menghentikan kerugian.
Harga nikel telah melonjak pada tahun 2022 dengan rekor mencapai di atas $ 100.000. Angka ini naik setelah prediksi berkurangnya pasokan dari produsen utama Rusia setelah invasi ke Ukraina. Dengan begitu, keadaan ini mendorong pasar untuk memotong harga menjadi lebih rendah.
Saat ini, logam ini diperdagangkan sekitar $16.000 per ton setelah produksi meningkat di Indonesia. Indonesia tahun lalu menyumbang lebih dari separuh pasokan global yang diperkirakan sekitar 3,4 juta metrik ton. Pada tahun 2020, Pasokan Indonesia mencapai 30 persen dari total.
Penambahan pasokan memperparah dampak kelemahan ekonomi yang menurunkan permintaan. Sejumlah penambang Barat, termasuk BHP menjadikan nikel sebagai inti strategi hijau mereka, serta setengah lusin perusahaan lainnya menghentikan aset sementara, menunda proyek dan mengurangi produksi.
Pemotogan sejauh ini telah mengurangi lebih dari 230.000 ton atau sekitar 6% dari potensi pasokan untuk tahun ini. menurut analis Macquarie, upaya tersebut ini tidak cukup untuk mendongkrak harga.
Sebuah sumber di produsen global berbicara dengan syarat anonim karena mereka tidak berwenang untuk berbicara di depan umum. Mereka juga mengatakan bahwa pengurangan yang lebih dalam akan diperlukan untuk mencegah kerugian finansial.
Perusahaan konsultan Benchmark Mineral Intelligence memperkirakan jika diperlukan pengurangan lebih dari 250.000 ton untuk menyeimbangkan pasar nikel global tahun ini.
Sebagian besar kelebihan pasokan dan persediaan tinggi terdapat pada NPI, alternatif yang lebih murah daripada nikel bermutu tinggi untuk produksi baja tahan karat, kata para analis. China dan Indonesia menyumbang 70 persen dari pasokan nikel global, sebagian besar berupa NPI.(*)
Sumber: CNA
Penerjemah: Yuda (mk) | Editor : Lutfiyu Handi