Antropolog: Dampak Belum Disahkan RUU Masyarakat Adat, 21 Etnik Bisa Punah Akibat Pembangunan IKN

SURABAYA (Lenteratoday) - Sudah 14 tahun lamanya RUU masyarakat adat tak kunjung dilegalkan. RUU Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat merupakan rancangan undang-undang yang telah diusung sejak 2003, dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010.
Pakar Antropologi Hukum Unair Dr Sri Endah Kinasih S Sos M Si mengatakan, hal tersebut menjadi akibat dari tidak dianggap pentingnya isu masyarakat adat.
“Masyarakat adat dianggap kuno. Padahal, masyarakat adat punya nilai-niliai religio magis yang mereka pertahankan. Itu yang tidak dipahami oleh pemerintah,” ucapnya, Kamis (1/02/2024).
Sri menjelaskan, perlu ada keterlibatan tokoh-tokoh adat dan agama dalam pelegalan RUU. Pasalnua, RUU ini menjadi jalan satu-satunya negara untuk memahami masyarakat adat.
"RUU tidak jalan karena ya tokoh adat, agama, ahli tidak dilibatkan,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, jika kepentingan negara seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Seharusnya pembangunan dilakukan dengan proses dialog ke bawah (masyarakat adat). Bukan hanya berlandaskan kepentingan negara.
“Makanya, ketika membangun harus ada dialog. Tokoh agama, tokoh adat, ahli itu harus diajak. Contohnya di masyarakat Maluku itu, ada konsep sasi atau larangan panen sebelum waktunya. Nah, ini kan merupakan tradisi mereka dalam melindungi ekosistem mereka," ungkapnya.
Konsep seperti ini yang harus dimengerti oleh pemerintah, tidak hanya bangun sini, bangun sana, ganti rugi sini, ganti rugi sana. Tidak seperti itu,” tambahnya.
Merusak etnik

Terkait pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara), pakar antropologi hukum mengatakan, setidaknya akan menyebabkan 21 etnik (suku bangsa) bisa punah. Hal itu terjadi karena belum dilibatkannya masyarakat adat serta belum mengertinya negara dengan konsep-konsep yang ada dalam masyarakat.
“Sebanyak 21 etnik lho, dan ketika punah, bukan hanya etnik, tapi juga flora dan fauna akan hilang. Karena, orang-orang jaman dulu kan harus memperhatikan ekologi, kalau etnik-etnik tersebut punah, maka tradisi berlandaskan ekologis pun akan hilang,” ucapnya.
Sri menyebut, negara harusnya melindungi dan mempertahankan masyarakat adat. Karena, Indonesia sendiri semakin waktu berjalan, semakin berkurang masyarakat adatnya.
Tidak semua hal itu untuk pembangunan negara, ada kearifan lokal yang perlu dijaga. Contoh lainnya adalah masyarakat yang tinggal di hutan tidak memiliki KTP (kartu tanda penduduk), padahal mereka sudah tinggal di hutan tersebut jauh sebelum Indonesia ‘ada’ atau merdeka.
“Mereka kan lahir sebelum itu. Tanah itu kan sudah dimiliki oleh mereka. Masyarakat adat dianggap belum memiliki hak berupa sertifikat tanah. Dianggap bukan hak mereka. Padahal ketika membangun rumah atau sumur, mereka selalu mencantumkan tanggal pembuatan. Itu kan bukti yang otentik, melebihi sertifikat negara,” tutupnya.
Reporter: Amanah Nur Asiah (mg)|Editor: ArifinBH