
MALANG (Lenteratoday) - Film dokumenter 'Joshua Tree' mengangkat pesan penting untuk orangtua anak difabel, terutama dengan spektrum autis. Film pendek berdurasi sekitar 20 menit ini, menggambarkan perjalanan luar biasa seorang keluarga, yang akhirnya memilih kebahagiaan dalam merawat dan menghadapi anak dengan autisme.
Ibu Joshua, Deibby Mamahit, menekankan pentingnya menerima dan mencintai anak apa adanya dengan keterbatasan yang dimiliki. Menurutnya, kebahagiaan orangtua merupakan kunci bagi pertumbuhan anak.
"Kebahagiaan itu sebenarnya adalah sesuatu yang bisa kita pilih. Dengan saya memiliki anak berkebutuhan khusus dan segala tantangan yang saya alami, saya lebih memilih untuk bahagia. Karena anak-anak ini walaupun tidak bisa berkomunikasi, mereka berpotensi untuk menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka akan menganggap bahwa mereka lah yang menyebabkan depresi itu terjadi," ujar Deibby, ditemui usai sesi Bedah Film Joshua Tree, Sabtu (20/1/2024) sore.
Di sisi lain, Deibby juga menjelaskan peristiwa dalam yang menjadi titik balik yang mendorongnya untuk memilih bahagia menghadapi anak dengan autisme. Meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan di masa-masa awal Joshua difonis autis, Deibby ingin menyampaikan bahwa keluarga merupakan sumber daya terbesar bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, dan orangtua memiliki peran besar dalam hal tersebut.
"Ternyata walaupun susah, saya lebih memilih Joshua ada dalam kehidupan saya. Jadi yang pertama, orangtua adalah salah satu resource terbesar untuk anak-anak ini. Dan kedua, orangtua bisa memilih untuk bahagia. Dari awal saya menolak untuk mengambil persepsi bahwa autisme itu seumur hidup atau tidak bisa diperbaiki," ungkapnya.
Terpisah, sutradara Joshua Tree, George Arif, menceritakan kesannya terhadap penyandang difabel, projek film yang kerap digarapnya. Baginya, difabel merupakan manusia biasa yang layak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan tidak dibeda-bedakan. Menurutnya, film tentang difabel tidak hanya menciptakan konten sinematik yang menarik, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan yang mendalam.
George juga berbagi pengalamannya dalam penggarapan film ini yang dilakukan selama pandemi ini. Proses pengerjaan yang berlangsung selama dua tahun, melibatkan tim post production yang terdiri dari 5-6 orang. Menurutnya, jarak merupakan kendala utama, di mana ia tidak dapat melakukan syuting secara langsung.
Meskipun demikian, George memilih untuk melibatkan keluarga dalam pengambilan gambar, mempercayakan kamera kepada mereka untuk menciptakan kedekatan dan keaslian dalam hubungan.
"Saya belajar bahwa manusia itu layak untuk diperjuangkan, bahwa cinta itu kuat. Makanya kenapa Joshua Tree, ini karena Joshua kuat karena kelurganya. Cinta keluarga itu mampu memudahkan. Bahwa keluarga itu menjadi suatu tempat bahwa kita bisa berteduh, merasa nyaman, dan bisa bertumbuh di situ. Dan itu menyentuh hati saya dan bisa saya gunakan untuk belajar juga," paparnya.
Diakhir, menyampaikan bahwa film ini telah berhasil masuk dalam nominasi 3 bergengsi, yakni Film House Berlin, Official Selection di London Best Documentary Award, serta Himachal Short Film Festival 2023. "Tapi buat saya sih berkarya ya berkarya, masalah dapat award itu adalah bonus. Jadi mungkin kita gak ngejar itu tapi kalau ada apresiasi itu, jadi suatu hal yang buat kita menjadi bangga dan happy," tukasnya.
Reporter: Santi Wahyu/Editor: widyawati