20 April 2025

Get In Touch

Butet Kartaredjasa : Aku Kehilangan Kemerdekaan Mengartikulasikan Pikiranku

Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa saat hadiri konferensi pers dalam Aksi Damai Selamatkan Demokrasi di Untag Surabaya.
Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa saat hadiri konferensi pers dalam Aksi Damai Selamatkan Demokrasi di Untag Surabaya.

SURABAYA (Lenteratoday) - Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa, seniman sekaligus aktor dan pembawa acara senior Indonesia menghadiri Aksi Damai Selamatkan Demokrasi yang digelar pada Rabu (6/12/2023) di Untag Surabaya.

Selain menyuarakan keresahan soal politik dinasti, ia juga menceritakan kronologi intimidasi polisi atas pentas seninya di Taman Ismail Marzuki Jakarta 1 Desember lalu.

Intimidasi tersebut bukan berupa verbal ataupun fisik. Melainkan ia harus menandatangani surat yang satu itemnya di lampirannya berbunyi bahwa ia harus mematuhi untuk tidak bicara politik. Pementasan tak boleh untuk kampanye, tidak boleh ada tanda gambar, dan tak boleh urusan Pemilu.

"Memang tidak. Ini cerita biasa. Tapi saya tidak boleh bicara politik. Baru kali ini sejak tahun 98 polisi menambahkan redaksional itu, dan saya menandatangani," jelasnya.

Ia mengungkapkan, izin dari polisi seharusnya hanya untuk kesenian yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Namun jika pementasan diadakan di tempat seni seperti Taman Budaya, Komunitas Seni, Taman Ismail Marzuki, atau Padepokan yang memang tempat tempat seni, cukup pemberitahuan saja.

"Karena tidak ada gangguan ketertiban umum. Tugas polisi adalah mengantisipasi ancaman ketertiban umum," ungkapnya.

Maka dengan adanya surat itu, ia merasa terintimidasi. Karena intimidasi tidak harus pertemuan langsung, tidak harus ada pernyataan verbal dari polisi, atau polisi datang untuk marah-marah.

"Kemarin sore Polda Jakarta itu bikin jumpa pers mengatakan tidak ada intimidasi seakan-akan saya itu membesar-besarkan masalah. Loh, memang tidak ada orang memaki-maki saya mengintimidasi secara fisik tidak ada," ungkapnya.

Ia melanjutkan, narasi di dalam redaksional yang menyebutkan bahwa ia harus berkomitmen tidak bicara politik itu menghambat kebebasan berekspresi. Konten materi seni pertunjukannya diatur oleh kekuasaan di luar dirinya. Sedangkan polisi mengartikan intimidasi secara naif, hanya soal fisik.

"Aku kehilangan kemerdekaan mengartikulasikan pikiranku, aku dihambat kebebasan berekspresi," ungkapnya.

Terakhir, ia mengaku hanya menceritakan fakta. Ia tak berani menuduh bahwa polisi sebagai alat negara di masa kampanye ini, sudah mulai mengintervensi kehidupan publik. "Saya tidak menuduh cuma menceritakan fakta. Saya yakin masyarakat Indonesia yang cerdas bisa menilai dengan sendirinya," tutupnya. (*)

Reporter : Jannatul Firdaus | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.