20 April 2025

Get In Touch

FISIP Unair Gelar Seminar Nasional Regresi Demokrasi di Indonesia

Sesi pertama: Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D. dan Prof. Ramlan Surbakti, M.A. Ph.D dengan moderator Dr. Kris Nugroho, Drs., M.A.
Sesi pertama: Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D. dan Prof. Ramlan Surbakti, M.A. Ph.D dengan moderator Dr. Kris Nugroho, Drs., M.A.

SURABAYA (Lenteratoday) -Departemen Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema "Regresi Demokrasi di Indonesia (?)", Kamis (23/11/2023). Seminar ini dibuka oleh Wakil Dekan III FISIP, UNAIR, Irfan Wahyudi. S.Sos., M.Comm., Ph.D. dan Ketua Departemen Politik Dr. Dwi Windyastuti Budi H, Dra., MA.

Seminar dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama, seminar mengambil sub-tema “Tata Kelola Pemilu” dengan narasumber Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D. dan Prof. Ramlan Surbakti, M.A. Ph.D dengan moderator Dr. Kris Nugroho, Drs., M.A.

Sementara di sesi kedua adalah Regresi Demokrasi dengan narasumber Romo Antonius Benny Susetyo, Pr., Prof. Luky Djuniardi Djani, MPP., Ph.D. dan Airlangga Pribadi Kusman, S.IP., M.Si., Ph.D. dengan moderator Nuke Faridha Wardhani, S.IP., M.M.

Ketua Departemen Politik, FISIP UNAIR, Dwi Windyastuti membuka seminar dengan menyampaikan latar belakang kemunculan ide seminar dari munculnya nama-nama bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden. Kemudian dia menjelaskan bahwa muncul pertanyaan kritis terkait apakah demokrasi mengalami keterpurukan dan regresi.

Tata Kelola Pemilu

Moderator sesi pertama, Kris Nugroho memantik diskusi pertama dengan menjelaskan bahwa politik mempengaruhi kehidupan kita semua. Dia kemudian melanjutkan dengan menguraikan persoalan politik dan manipulasi hukum untuk kepentingan politik praktis dengan cara-cara realis.

Pembicara pertama sesi pertama, Prof. Ramlan Surbakti memulai dengan menyampaikan dinamika dalam Tata Kelola Pemilu dan realitas politik dalam dinamika demokrasi saat ini. Dia mengkritik paradigma positivistik dalam melihat realitas kekuasaan yang mengancam eksistensi demokrasi di Indonesia. Dia menambahkan bahwa praktik pemasaran politik yang hanya melihat politik sebagai komoditas jangka pendek menimbulkan berbagai permasalahan dalam politik di Indonesia.

Prof. Ramlan Surbakti kemudian menekankan urgensi dari penegakan integritas penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu harus memiliki empat prinsip yaitu jujur, akurat, transparan, dan akuntabel. Dia mengutip penjelasan Adam Przeworski bahwa demokrasi adalah Pemilu, kemudian Pemilu yang ideal adalah predictable procedure, but unpredictable results. Menurut Guru Besar Ilmu Politik UNAIR ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menjamin, “kepastian prosedur dan ketidakpastian prediksi hasil pemilu.”

Prof. Ramlan Surbakti menyoroti KPU yang tidak melaksanakan putusan MK dalam kaitannya dengan mekanisme dan penentuan daerah pemilihan (Dapil). KPU lebih memilih membangkan dan tidak melaksanakan Undang-Undang. Contoh lain adalah persoalan keterwakilan perempuan yang kurang dari 30 persen. Hingga saat ini KPU memilih untuk tidak melaksanakan Undang-Undang yang mendorong penerapan affirmative action dalam keterwakilan perempuan. Selain itu terdapat banyak penyimpangan dalam KPU.

Kemudian Prof. Ramlan Surbakti menyoroti persoalan politik dinasti yang ada di berbagai level di Indonesia. Dia menguraikan problem keluarga misalnya anak hingga menantu kepala daerah aktif yang turut mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah dan legislatif. Dia menilai bahwa harus ada aturan yang melarang keluarga dari kepala daerah aktif untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum.

Dalam perpolitikan nasional, Prof. Ramlan Surbakti juga menyoroti Putra Presiden Joko Widodo Kaesang Pangarep yang menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya berselang dua hari setelah bergabung.

Selain itu, dia juga melihat pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden sebagai mekanisme yang non demokratis. Realitas pencalonan Gibran ini menghambat proses kaderisasi panjang di mana kader-kader di tempa dalam partai-partai politik. Menurutnya, “peristiwa ini harus jadir lesson learn bagi kita semua.”

Dia menekankan bahwa partai politik mutlak diperlukan dalam demokrasi perwakilan, tapi partai politik saja tidak cukup. Ada banyak permasalahan politik dan demokrasi di Indonesia yang bersumber dari partai politik Sekarang DPR tidak lelah berupaya mendikte KPU. Mereka menggugat lewat Mahkamah Konstitusi (MK), disetujui, dan mendorong KPU menerima putusan tersebut. Dia menegaskan kekecewaannya pada KPU yang tidak bisa membangun dan memelihara kemandirian.

Pembicara kedua, Prof. Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan topik presentasinya dengan judul “To be or not to be: Mengembalikan Demokrasi ke Relnya vs Politik Dinasti”. Prof. Ikrar menyampaikan bahwa demokrasi mendorong penciptaan equal rights. Dalam sejarahnya ini termanifestasikan dalam Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Prancis yang mendorong urgensi peran sipil yang setara dalam dinamika politik dan demokrasi.

Dalam konteks aktual politik di Indonesia, Prof. Ikrar Nusa Bhakti mengkritisi secara tajam terkait model partisipasi anak muda dalam politik. Baginya siapapun yang mengkritik realitas politik sekarang dicap “anti anak muda nyalon”. Dia menambahkan bahwa ini merupakan “brainwashed” terhadap kita semua.

Dia menyampaikan pertanyaan kritis terkait bagaimana anak muda berperan dan anak muda yang seperti apa yang turut dalam proses politik. Dia membawa penjelasannya pada sejarah terkait peran penting anak muda dalam sumpah pemuda dan Revolusi Nasional Indonesia, misalnya Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Banyak yang memulai karier politiknya sejak usia di bawah 20 tahun. Terkait Regresi Demokrasi dia menjelaskan pengalaman sejarah Indonesia ketika Sukarno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Konstituante.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti menjelaskan bahwa pada konteks sekarang, demokrasi di Indonesia mengalami naik-turun. Dengan mengutip The Economist Intelligence Unit, dia melihat Indonesia mengalami berbagai penurunan misalnya soal kebebasan sipil, penegakan HAM, dan pluralisme. Baginya, yang kita alami sekarang adalah demokrasi perwakilan Indonesia mengalami degradasi ke demokrasi yang cacat, contohnya adalah dua aktivis yang mengkritik Luhut Binsar Pandjaitan terkena pidana. Degradasi demokrasi di Indonesia berkaitan dengan permasalahan-permasalahan lain misalnya rekayasa hukum dan rekayasa ekonomi.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti menyoroti fenomena politisi yang takut mengalami “lame duck government”, yakni kehilangan pengaruh dan kekuasaan di penghujung kekuasaan. Mereka memilih untuk meneruskan atau mewariskan kekuasaannya.

Dia menegaskan, “kalau ayahnya masih menjabat anaknya seharusnya tidak boleh mencalonkan.”

Prof. Ikrar Nusa Bhakti mengkritisi ikut-campur Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan aktif dalam Pemilihan Umum 2024. Baginya, realitas politik bahwa Jokowi memanfaatkan sumber daya dan jaringan yang dimilikinya tidak dapat dipandang sebelah mata, dan dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Dia menegaskan bahwa kesadaran politik dan partisipasi politik anak muda itu penting, misalnya dapat dirintis melalui keikutsertaan dalam organisasi-organisasi. Mengutip K.H. Ahmad Mustofa Bisri, yang tercipta adalah “republik rasa kerajaan”. Baginya, kritik K.H. Ahmad Mustofa Bisri terhadap Soeharto dan Orde Baru masih relevan dengan konteks sekarang.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti menegaskan, “berpolitik itu harus ada etika!”

Baginya, etika itu sangat penting dan erat kaitannya dengan daya tahan politik. Dia menambahkan bahwa kita harus berhenti berpikir bahwa semua orang Indonesia “memiliki niat baik”. Dia mengkritisi tajam sikap-sikap politik Joko Widodo yang berlaku seperti seorang raja. Dia menambahkan bahwa, dalam mekanisme konstitusional, kita harus melihat realitas bahwa hakim konstitusi bukan setengah dewa, mereka mempunyai berbagai kepentingan pribadi.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti menanggapi salah satu pertanyaan peserta terkait politik dinasti. Dia menegaskan dinasti politik itu bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam politik dan berbeda dengan politik dinasti. Dinasti politik mengalami pembentukan, kaderisasi, ditempa dalam proses panjang. Sementara politik dinasti cenderung instan.

Dia menegaskan, “sebaiknya anak kepala daerah dilarang menjadi calon kepala daerah!”

Aturan yang melarang tersebut erat kaitannya dengan budaya politik Indonesia yang masih berfokus pada sosok aktor dan ikatan tradisional sehingga perlu dilarang. Proses politik Indonesia belum menempatkan kaderisasi politik sebagai komponen penting dalam demokrasi internal partai.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti menjelaskan bahwa kaderisasi politik sangatlah penting. PDI-P pernah mengalami kesulitan menemukan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah pada pemilihan umum 1999. Fenomena memilih calon anggota legislatif secara instan menimbulkan banyak masalah. Inilah yang kemudian menjadi permasalahan politik di era sekarang bahwa seorang politisi dan anak-anaknya ikut partai-partai politik yang berbeda-beda dan berpindah-pindah.

Menambahkan jawaban untuk pertanyaan yang sama terkait partai politik, Prof. Ramlan Surbakti berpendapat bahwa, “partai politik harus dibenahi sebelum memikirkan sistem pemilunya terbuka atau tertutup!”

Dia menjelaskan realitas persoalan krisis etik dan moral yang melanda demokrasi di Indonesia.

Tata kelola Pemilu

Sesi kedua: Romo Antonius Benny Susetyo, Pr., Prof. Luky Djuniardi Djani, MPP., Ph.D. dan Airlangga Pribadi Kusman, S.IP., M.Si., Ph.D. dengan moderator Nuke Faridha Wardhani, S.IP., M.M.

Sesi kedua Seminar Nasional tentang “Regresi Demokrasi di Indonesia (?)” dibuka oleh pembicara pertama, Romo Antonius Benny Susetyo, Pr.. Dia memulai pemaparannya dengan mengungkapkan realitas politik yang dihadapi bahwa demokrasi di Indonesia sedang dalam suasana dibajak dan kita kehilangan moral dan etiknya. Kaitannya dengan realitas ini, dia menjelaskan bahwa konstitusi tidak lagi menjadi pijakan ataupun pegangan, melainkan menjadi alat untuk ambisi kekausaan.

Romo Benny menegaskan bahwa demokrasi harus punya tradisi. Dia mengungkapkan bahwa persoalan dalam politik di Indonesia bukanlah pemimpin muda ataupun tua. Persoalan nyata yang paling berat yang dihadapi dalam regresi demokrasi adalah konstitusi yang diingkari dan diinjak-injak. Masalah ini semakin memburuk ketika masyarakat sipil, media massa, intelektual membiarkan demokrasi membusuk. Baginya, dalam hal ini, praktik berbangsa telah diingkari.

Romo Benny menjelaskan bahwa kondisi ideal yang harusnya ada adalah masyarakat yang kritis. Dia mengungkapkan kritiknya bahwa masyarakat terdidik jangan sampai menjadi masyarakat yang “peng-iya kata”, membiarkan kepentingan merebut dan melestarikan kekuasaan tersebut. Baginya kritisisme masyarakat amatlah penting. Dia menambahkan bahwa daya kritis dapat mempengaruhi elektabilitas dan keputusan publik. Baginya, jika kelompok intelektual membiarkan itu semua, demokrasi akan mati.

Romo Benny menambahkan bahwa kita membutuhkan intelektual organik. Menjelang Pemilu pada Februari 2024, Romo Benny berpendapat bahwa bangsa Indonesia punya tiga bulan untuk menyelamatkan demokrasi. Dia berharap bahwa seminar ini akan melahirkan agenda untuk menyelamatkan demokrasi.

Menurut Romo Benny, “dengan kultur intelektual kita bisa menyelamatkan masyarakat. Kita membangun kesadaran masyarakat atas hegemoni yang ada. Kita harus membangun kesadaran kritis kampus dan membuat gerakan kesadaran kritis ini atas demokrasi yang dipasung.”

Dia menegaskan bahwa gerakan mahasiswa dapat menyadarkan kembali, dan mengembalikan semangat demokrasi

Moderator sesi dua Nuke Faridha Wardhani merangkum bahwa kalau proses demokrasi sudah cacat, pemilu juga akan cacat.

Selanjutnya pemateri kedua di sesi kedua, Airlangga Pribadi Kusman menjelaskan realitas problematika demokrasi yang dihadapi di Indonesia. Menurutnya, “yang kita lawan adalah politik gimmick.” Dia menyoroti persoalan kesadaran demokrasi bangsa Indonesia akibat berbagai manipulasi yang dilakukan. Menurutnya harus ada penegasan urgensi posisi masyarakat sipil melalui penegasan hak warga negara.

Airlangga Pribadi Kusman menegaskan, “ciri negara demokrasi, tidak ada satupun yang membatasi kebebasan berpikir.”

Masyarakat politik yang kritis diperlukan dalam mekanisme politik demokratis.

Dia mengkritisi pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan politisi muda dan mempertanyakannya secara etik dalam mekanisme demokrasi. Baginya, demokrasi harus dibangkitkan bersama rakyat. Peran masyarakat sipil penting dalam menjaga dan mempertahankan demokrasi.

Airlangga Pribadi Kusman mengkritisi secara tajam praktik demokrasi saat ini yang akan dapat membawa bangsa Indonesia setback ke masa lalu dalam bentuk kekuasaan yang korup, absolut dan tidak terkendali.

Menanggapi berbagai kritik terhadap anak muda, Airlangga Pribadi Kusman tidak sepakat jika Gen Z dicap apolitis dan tidak tahu politik. Dia memberikan contoh bahwa ketika isu reformasi dikorupsi dan omnibus law muncul, kelompok yang bangkit adalah Gen Z, sehingga ini adalah wujud partisipasi anak muda dalam politik secara kritis.

Airlangga Pribadi Kusman menjelaskan bahwa mahasiswa akan menghadapi suatu realitas sosial dan politik ketika mereka lulus bahwa mereka akan menghadapi anak-anak elite yang memanfaatkan berbagai macam dekengan (priviledge) yang dimilikinya untuk menempati posisi-posisi penting.

Airlangga Pribadi Kusman mengatakan, “kita akan mengalami setback 100 tahun kalau neo-feodalisme menguat!”

Dia menambahkan bahwa permasalahan yang serupa dulu dihadapi Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka pada masa perjuangan kemerdekaan. Dia mengungkapkan bahwa dulu mobilitas sosial naik hanya dimiliki orang-orang berdarah biru. Tanpa upaya resistensi sipil melawan kemunduran ini, mobilitas sosial orang biasa (anak-anak singkong) yang telah kita perjuangkan bersama selama ini akan mengalami kemunduran

Seminar kemudian dilanjutkan oleh pembicara terakhir sesi kedua yakni Prof. Luky Djuniardi Djani. Dia membuka diskusi dengan menyampaikan pernyataan kritis terkait pemilu, “kita tidak bisa mencari pemimpin yang kenabi-nabian.”

Selanjutnya Prof. Luky Djuniardi Djani melakukan komparasi fenomena politik dinasti dengan memberikan contoh kasus Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Hun Sen  yang berlatar belakang militer melanjutkan kekuasaan ke anaknya. Anak dan anggota keluarga Hun Sen telah lama menempati jabatan strategis seperti menteri, panglima, kepala polisi, dan sebagainya. Contoh ini menurut Prof. Luky Djuniardi Djani menunjukkan visi untuk mendorong “kesuksesan” keluarga dalam membangun politik dinasti.

Prof. Luky Djuniardi Djani menjelaskan bahwa populasi terdidik di Indonesia hanya sekitar 12 persen dan ini menimbulkan kompleksitas kesenjangan kesadaran pada isu-isu politik dan demokrasi. Prof. Luky Djuniardi Djani menyoroti upaya Presiden Joko Widodo dalam membangun politik dinasti dalam keluarganya. Menurutnya, ini merupakan keputusan rasional yang memanfaatkan kesempatan yang muncul. Baginya upaya ini merupakan sesuatu yang harus dilawan (*)

Reporter: Djoko Prasetya,rls|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.