20 April 2025

Get In Touch

Putin dan Xi Jinping Akan Perdalam Kemitraan Rusia - Cina

Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin. (Foto: AP)
Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin. (Foto: AP)

SURABAYA (Lenteratoday) - Presiden Rusia Vladimir Putin dijadualkan akan bertemu dengan Xi Jinping di Cina minggu ini. Pertemuan tersebut sebagai upaya untuk memperdalam kemitraan antara dua negara yang menjadi pesaing strategis terbesar Amerika Serikat.

Rencannya, Putin akan menghadiri Forum Belt and Road di Beijing pada 17-18 Oktober besok. Kunjungan tersebut perupakan perjalanan pertamanya ke luar negara bekas Uni Soviet tersebut sejak Mahkamah Pidana Internasional yang bermarkas di Den Haag mengeluarkan surat perintah kepadanya pada Maret atas deportasi anak-anak dari Ukraina.

Cina dan Rusia mendeklarasikan kemitraan “tanpa batas” pada Februari 2022 ketika Putin mengunjungi Beijing hanya beberapa hari sebelum ia mengirim puluhan ribu tentara ke Ukraina, sehingga memicu perang darat paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua. Amerika Serikat menganggap Cina sebagai pesaing terbesarnya dan Rusia sebagai ancaman negara terbesarnya, sementara Presiden AS Joe Biden berpendapat bahwa abad ini akan ditentukan oleh persaingan eksistensial antara negara demokrasi dan otoriter.

“Selama dekade terakhir, Xi telah membangun aliansi tidak dideklarasikan dengan Putin, Rusia, yang paling berpengaruh di dunia,” kata Graham Allison, profesor di Universitas Harvard dan mantan asisten menteri pertahanan di bawah Bill Clinton, kepada Reuters.

“AS harus menerima kenyataan yang tidak menyenangkan bahwa saingan sistemik yang berkembang pesat dan negara adidaya satu dimensi yang memiliki persenjataan nuklir terbesar di dunia bersatu dalam menentang AS.” Biden menyebut Xi sebagai "diktator" dan mengatakan Putin adalah "pembunuh" dan pemimpin yang tidak bisa tetap berkuasa. Beijing dan Moskow telah memarahi Biden atas pernyataan tersebut. Sejak perang di Ukraina, Putin sebagian besar tinggal di negara bekas Uni Soviet, meskipun ia mengunjungi Iran tahun lalu untuk melakukan pembicaraan dengan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.

Rusia yang pernah menjadi mitra senior dalam hierarki Komunis global, tiga dekade setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, kini dianggap sebagai mitra junior bagi kebangkitan Komunis Cina di bawah kepemimpinan Xi, yang merupakan pemimpin Cina paling kuat sejak Mao Zedong.

Putin dan Xi memiliki pandangan dunia yang sama, yang memandang Barat sebagai negara yang dekaden dan mengalami kemunduran, sama seperti Cina yang menantang supremasi AS dalam segala hal mulai dari komputasi kuantum dan biologi sintetik hingga spionase dan kekuatan militer yang kuat.

Namun Xi, yang memimpin perekonomian senilai $18 triliun, harus menyeimbangkan hubungan pribadi yang erat dengan Putin dengan kenyataan berurusan dengan perekonomian Amerika Serikat senilai $27 triliun – yang masih merupakan kekuatan militer terkuat dan terkaya di dunia.

Amerika Serikat telah memperingatkan Cina agar tidak memasok senjata kepada Putin ketika Rusia, yang memiliki ekonomi bernilai $2 triliun, memerangi pasukan Ukraina yang didukung oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Alexander Gabuev, direktur Carnegie Russia Eurasia Center, mengatakan bahwa gambaran perang di Ukraina membuat kesepakatan publik besar tidak mungkin terjadi saat ini. “Putin jelas merupakan tamu kehormatan,” kata Gabuev, seraya menambahkan bahwa kerja sama militer dan nuklir akan dibahas.

“Pada saat yang sama, saya pikir Cina tidak tertarik untuk menandatangani kesepakatan tambahan apa pun, setidaknya di depan umum, karena apa pun yang dapat digambarkan sebagai memberikan arus kas tambahan ke peti perang Putin dan mesin perang Putin tidaklah bagus pada saat ini.”

Yang menambah kompleksitas kerja sama militer adalah ketidakpastian nasib Menteri Pertahanan Li Shangfu, yang sudah lebih dari enam minggu tidak terlihat di depan umum. Pimpinan raksasa energi Rusia Gazprom dan Rosneft, Alexei Miller dan Igor Sechin, akan bergabung dengan rombongan Putin selama kunjungannya, kata sumber yang mengetahui rencana tersebut kepada Reuters.

Rusia ingin mendapatkan kesepakatan untuk menjual lebih banyak gas alam ke Cina dan berencana membangun jaringan pipa Power of Siberia-2, yang akan melintasi Mongolia dan memiliki kapasitas tahunan sebesar 50 miliar meter kubik (bcm).

Tidak jelas apakah kesepakatan gas – khususnya harga dan biaya pembangunannya – akan disepakati. (*)

Sumber : Reuters

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.