
JOMBANG (Lenteratoday) - Konflik antara Pemkab Jombang dengan para penghuni ruko di Kompleks Simpang Tiga Jombang terus berlanjut. Masing-masing pihak bertahan dengan posisi masing-masing.
Penghuni menginginkan Hak Guna Bangunan (HGB). Sementara, Pemkab menganggap kompleks ruko sebagai asetnya dan disewa oleh para penghuni ruko, yang habis masa sewanya pada 2016. Karena itu, sejak 2016 seharusnya penghuni ruko membayar sewa ke Pemkab.
Di sisi lain, para penghuni ruko memastikan, ruko tersebut dibeli (bukan disewa) dari developer PT Suryatama Nusa Karya Pembangunan dengan status hak guna bangunan (HGB). Penghuni ruko juga mengantongi sertifikat HGB, dengan masa berlaku 20 tahun sejak 1996.
Karena dibeli dari developer, penghuni ruko mengeklaim seharusnya aset Kompleks Ruko Simpang Tiga adalah milik developer, dalam hal ini PT Suryatama Nusa Karya Pembangunan.
Itu sebab, setelah HGB habis pada 2016, pemilik menolak membayar sewa ke Pemkab. Karena seharusnya adalah perpanjangan status kepemilikan HGB. Itulah yang kini diperjuangkan para penghuni ruko.
"Kami ingin perpanjangan hak guna bangunan (HGB). Kalau dihitung dari 2016, kami minta perpanjangan 30 tahun. Kalau dihitung dari sekarang (2023), bolehlah 20 tahun," kata Heri Soesanto, perwakilan penghuni ruko Simpang Tiga, Minggu (30/7/2023).
Konflik seputar ruko Simpang Tiga ini sebelumnya pernah diadakan mediasi, rapat dengar pendapat dengan DPRD dan saat ini masuk Kejaksaan Negeri (Kejari). Kejari ini disebut kuasa hukum dari Pemkab Jombang.
Heri Soesanto menjelaskan detil Ruko Simpang Tiga yang kini menjadi konflik antara pihak penghuni dengan pemkab.

Menurut Heri pihaknya membeli ruko dari developer PT Suryatama Nusa Karya Pembangunan. Kemudian keluarlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Sejak keluar sertifikat sampai tahun 2016 usaha tetap dilakukan. Selama kurang lebih 16 tahun, antara 2.000 sampai 2016 menjalankan kewajiban.
"Para pengusaha atau pemilik ruko membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan juga membayar retribusi tanah sampai tahun 2016," kata Heri.
Menurut Heri, sebelum habis masa berlaku HGB, pihaknya sudah mengajukan perpanjangan pada 2016, saat kursi bupati diduduki Nyono Suherli.
Bupati Nyono saat itu berjanji memberikan perpanjangan untuk HGB. Namun belum lagi direalisasi, Nyono ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan kasus korupsi yang tak terkait ruko Simpang Tiga.
"Karena bupati Nyono ditahan KPK, perpanjang HGB tidak jadi dilakukan. Sampai kemudian muncul persoalan tahun 2022. Kami saat itu menerima surat dari Pemkab Jombang yang intinya mewajibkan kami membayar sewa," terangnya.
Dikatakan, dari 55 ruko ditarik uang sewa bervariasi, berdasarkan luasan dan posisi ruko. Yang depan dan belakang berbeda uang sewanya. Ada yang Rp 25 juta per tahun per ruko ada yang Rp 20 juta per tahun per ruko.
Karena penghuni menolak membayar sewa, diadakan pertemuan dengan DPRD dan Pemkab. Itu dilakukan berkali-kali, tapi tidak pernah mencapai kata sepakat.
"Sampai akhirnya dibentuk Pansus DPRD dan pansus itu menetapkan kami harus membayar sewa," jelasnya.
Karena penghuni ruko menolak membayar, pihaknya dipanggil Kejari Jombang. Melalui kuasa hukum Masrukin dan Siswoyo, pihak ruko mendatangi penggilan, namun tetap saja tidak menemui titik temu.
Menurut Heri, pokok masalahnya sebenarnya hanya pada dua dokumen perjanjian antara Pemkab Jombang dengan developer waktu itu. Dokumen perjanjian nomor 01 dibuat Januari tahun 1996. Dan dokumen kedua, perjanjian nomor 01, dibuat Juli 2016, dilengkapi materai dan disahkan notaris.
Dijelaskan, kedua perjanjian kerjasama antara PT Suryatama Nusa Karya Pembangunan dengan pihak Pemkab Jombang itu sangat berbeda isinya. Perjanjian nomor 02 juga tidak dilengkapi materai serta tidak disahkan oleh notaris.
Perjanjian nomor 01 ada 15 pasal. Salah satu pasalnya, yakni pasal 7 ayat 4 bagian c berbunyi, Pihak pertama Pemda sebagai memberikan kewajiban kepada para pemilik ruko untuk memberikan rekomendasi perpanjangan HGB ketika habis masa berlakunya'.
"Sedangkan perjanjian 02 terdiri dari hanya 11 pasal dan sangat berbeda isinya dengan perjanjian nomor 02," kata Heri.
Dijelaskan, ketika memenuhi panggian Kejari Jombang, pihaknya menyerahkan surat perjanjian 01. Termasuk foto kopi sertifikat, akte jual beli, bukti pembayaran PBB dan bukti pembayaran retribusi tanah yang selama ini selalu dipenuhi.
"Kami juga laporkan ke Menteri Agraria Pertanahan Jakarta, kepada BPK Jakarta, ke KPK berikut bukti pendukung," jelasnya.
Heri berharap seluruh penghuni bisa diberi kesempatan memperpanjang HGB-nya. "Setelah itu itu, kami akan menjalankan kewajiban membayar PBB dan retribusi sejak 2016," tegas Heri.
Belum diperoleh konfirmasi dari pihak Pemkab Jombang, karena Kasi Intel Kejaksaan Jombang Denny Saputra Kurniawan selaku kuasa hukum Pemkab Jombang belum memberikan jawaban saat diminta tanggapan oleh wartawan melalui aplikasi perpesanan.(*)
Reporter : Sutono | Editor : Lutfiyu Handi