
SURABAYA (Lenteratoday) – Keluhan tua murid di Tulungagung terkait mahalnya harga seragam yang disediakan salah satu SMAN di daerah tersebut menjadi perhatian berbagai kalangan, salah satunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur. Bahkan, mahalnya harga seragam yang dinilai sangat memberatkan orang tua ini bak gunung es.
Prayit, salah satu warga Surabaya mengatakan sebenarnya penjualan seragam oleh pihak sekolah ini sudah lama terjadi dan tidak hanya di Tulungagung saja. Prayit menjelaskan pada 2017 lalu, ketika anaknya masuk SMA sudah ada penjualan seragam dan nilainya juga cukup fantastis.
“Dulu tahun 2017 saja, ketika anakku masuk sekolah harganya sudah Rp 1,7 juta. Jadi sebenarnya ini sudah lama terjadi, dan mungkin baru terkuak saja, baru ada yang berani ngomong. Lha gimana wong anakku sekolah di situ,” katanya saat ditemui di Surabaya, Selasa (25/7/2023).
Cerita itu serupa juga disampaikan Faisal. Warga Sidoarjo ini mengatakan bahwa anaknya tahun ini masuk SMA. Dia juga mendapatkan pengajuan pembelian paket seragam dari pihak sekolah yang total nilainya mencapai Rp 2.350.000.
“Kayaknya ini terjadi di semua daerah. Apa yang terjadi di Tulungagung itu ya seperti gunung es, karena sebenarnya tidak hanya di Tulungagung saja, tapi di semua daerah. Ini kemarin, saya juga membayar dengan harga sekitar Rp 2.350.000,” katanya.
Sementara berdasarkan unggahan salah satu wali murid di Tulungagung diketahui rician harga paket seragam dan atribut yaitu satu setel seragam abu-abu putih Rp 359.400; satu setel pramuka Rp315.850; satu setel batik Rp 383.200; satu setel baju khas Rp440.550; jas almamater Rp185.000; kaos olahraga Rp130.000; ikat pinggang Rp36.000; tas Rp 210.000; atribut Rp 140.000; dan jilbab Rp 160.000.
Terkait dengan hal itu, Anggota DPRD Jatim, Mathur Husyairi meminta supaya persoalan seragam sekolah ini dituntaskan. Bahkan dia mengatakan bahwa seragam sekolah ini sudah menjadi bisnis dengan dalih koperasi siswa. Mathur mengaku sangat khawatir pada orang tua siswa dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, sebab dengan harga yang cukup mahal itu bisa menjadi beban hidup mereka.
Mathur yang merupakan politisi PBB ini juga mengaku mendapatkan cerita dari salah seorang kepala sekolah dari Surabaya. Kepala sekolah itu mengakui ini adalah permainan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang sengaja ngedrop dan produsen batik seragam hanya satu.
“Pada tahun 2018 pernah mencari kain seragam seperti SMA Negeri 5 Surabaya. Tapi saya cari di Pasar Turi, Pasar Atom, tidak menemukan. Mereka bilang itu tidak dijual di pasaran,” jelas Mathur anggota Komisi E DPRD Jatim ini.
.
Untuk itu, dia mendesak supaya Pemprov Jatim mengusut tuntas dan memutus mata rantai bisnis seragam dan atribut sekolah ini. “Hentikan jual beli seragam di sekolah. Bebaskan mereka beli di toko manapun,” tegas pria asli Bangkalan Madura ini dalam intrupsinya saat sidang paripurna DPRD Jatim, Senin (24/7/2023).
Tekait dengan polemik seragam ini, Komisi E DPRD Jatim akan memanggil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk menanyakan perihal seragam sekaligus persoalan PPDB.
“Kita akan panggil Dindik Jatim awal Agustus mendatang untuk mengkonfirmasi situasi di lapangan yang sedang ramai itu dan apa-apa yang perlu dievaluasi dan diperbaiki paska PPDB,” kata Wakil Ketua Komisi E, Hikmah Bafaqih.
Menurut politikus PKB, pengadaan seragam yang dibebankan kepada wali murid itu memang tidak ada ketentuan yang mengatur. Oleh karenanya, pengadaan seragam seharusnya sah-sah saja di lakukan. “Memang tidak ada ketentuan yang mengharuskan atau melarang jadi itu hukumnya boleh,” kata perempuan asli Malang itu.
Disatu sisi, dia mengaku jika saat ini belum ada bantuan seragam dari pihak pemerintah pada siswa siswa SMA/SMK di Jatim. Sehingga tidak ada salahnya kalau pihak sekolah menarik biaya untuk seragam. Akan tetapi, kebijakan itu juga harus melihat kekuatan materi yang dimiliki oleh para wali murid. Sebab, kemampuan antara satu wali murid dengan yang lainnya jelas tidak sama.
“Kondisi ini harus dipahami betul, karena biaya sekolah tidak semua orang tua ekonominya mampu, bahkan alasan mereka menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri adalah untuk meringankan biaya pendidikan sehingga anaknya bisa tetap mengenyam pendidikan demi masa depan anak supaya lebih baik,” tandasnya.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Kodrat Sunyoto juga menandaskan bahwa komisinya akan memanggil Kepala Dinas Pendidikan Jatim dalam waktu dekat ini. “Intinya, pimpinan atau Ketua Komisi E, akan menghadirkan Bapak Kepala Dinas dengan seluruh jajarannya, mengenai kejelasan berita tersebut,” terangnya, Senin (24/7/2023).
Lebih lanjut politisi partai Golkar ini mengatakan bahwa viralnya harga seragam tersebut sudah menjadi pembicaraan hagat di Komisi E. Bahkan dia merasa harga seragam yang disebut dari salah satu SMA di Kabupaten Tulungagung itu tidak masuk akal.
Termasuk, lanjutnya, apakah penyediaan seragam dan harganya itu sudah dibahas secara khusus oleh komite sekolah. “Kok, saya tidak yakin hal seperti itu. Ndak mungkin masuk akal atau yang sampai harga yang begitu besar. Apakah itu sudah dibahas secara khusus di Komite Sekolah?” tanya Kodrat.
Sebab lanjutnya, jika memang sudah dilakukan pembahasan di tingkat komite sekolah, tentunya akan pembahasan harga yang terjangkau untuk semua kalangan wali murid. Sebab, lanjutnya kondisi ekonomi wali murid jelas tidak sama.
Dia juga menandaskan supaya soal secaragam ini tidak menjadi keharus atau mewajibkan wali murid untuk membeli. “Syukur kalau di komite sekolah itu murid yang tidak mampu bisa diberikan saja atau diberikan gratis,” katanya.
Sementara itu Wakil Ketua DPRD Jatim Anik Maslachah menegaskan, bahwa sektor pendidikan memang harus menjadi prioritas. Sebab, merupakan pelayanan dasar yang harus jadi perhatian bersama. “TisTas 12 tahun, pendidikan murah dan berkualitas harus diimplementasikan dengan efektif dan efisien,” jelas politisi PKB ini.
Dia berharap agar hearing Komisi E dengan Dinas Pendidikan Jatim nantinya dapat dimanfaatkan dengan baik yaitu untuk melakukan review policy yang dilakukan oleh Pemerintah.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan sebenarnya Pemprov Jatim telah menerima laporan tersebut dan sudah bergerak sebelum masalah itu viral di media social. Dia juga menandaskan tidak ada kewajiban bagi wali murid untuk membeli seragam di sekolah apalagi menjadi keharusan.
Namun demikian, lanjut Emil, terkait dengan masalah ini pihaknya tidak bisa langsung mengambil keputusan. Terlebih lagi jika hanya menggunakan bukti pembayaran, karena itu tidak cukup untuk membuktikan adanya paksaan membeli seragam dari sekolah. “Harus ada bukti yang menyatakan jika ada wali murid yang memang dipaksa untuk membeli seragam,” katanya.
Untuk itu, lanjutnya, pihaknya juga telah melakukan upaya penelusuran lebih lanjut terkait masalah tersebut. Sebab untuk mengambil keputusan tidak boleh gegabah, harus ada dasar yang benar-benar kuat diantaranya dengan bukti yang kuat pula. (*)
Reporter : Lutfi | Editor : Lutfiyu Handi