20 April 2025

Get In Touch

Catatan 21 Mei 1998: Aksi Damai Berubah Menjadi Tragedi

Kesaksian 18 Mei 1998 (Dok. Kompasiana)
Kesaksian 18 Mei 1998 (Dok. Kompasiana)

Hari ini tepat 22 tahun silam, 21 Mei1998, pada Kamis pagi Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagaiPresiden Republik Indonesia.

Presiden Soeharto menyatakan mundursetelah berkuasa selama 32 tahun, terhitung sejak dia mendapat"mandat" Surat Perintah 11 Maret 1966. Pidato pengunduran diriSoeharto dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB.

Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwalangkah ini dia ambil setelah melihat "perkembangan situasi nasional"saat itu. Tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutamapermintaan pergantian kepemimpinan nasional, menjadi alasan utama mundurnyaSoeharto.

"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatansaya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakanpernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto, sebagaimanadikutip dari berbagai sumber.

Gerakan reformasi merupakan penyebab utama jatuhnya Soehartodari kekuasaan. Aksi demonstrasi ini mulai terjadi sejak Soeharto menyatakanbersedia untuk dipilih kembali sebagai presiden setelah Golkar memenangkanPemilu 1997.

Situasi politik saat itu memang penuhdinamika, terutama setelah terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996 di kantor DPP PDI,Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Pemerintah dinilai menjadi penyebabterjadinya Peristiwa Sabtu Kelabu karena mencopot Megawati Soekarnoputri darijabatan Ketua Umum PDI sehingga menimbulkan dualisme partai.

Popularitas Megawati yang meroket ketikaitu, juga statusnya sebagai anak Presiden Soekarno, memang menjadi ancaman bagikekuasaan. Apalagi, Megawati menjadi pimpinan partai menjelang Pemilu 1997.

Selepas itu -Peristiwa 27 Juli 1996, timbul serangkaian hilangnyaaktivis demokrasi dan mahasiswa yang dianggap melawan pemerintahan Soeharto.Sejak saat itu, perlawanan terhadap Soeharto semakin terlihat.

Aksi mahasiswa yang semula dilakukan didalam kampus, kemudian dilakukan di luar kampus pada Maret 1998. Mahasiswasemakin berani berdemonstrasi setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untukperiode ketujuh dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.

Jika awalnya mahasiswa menuntutperbaikan ekonomi, setelah Soeharto terpilih tuntutan pun berubah menjadipergantian kepemimpinan nasional. Sayangnya, kekerasan yang dilakukan aparatkeamanan dalam mengatasi aksi mahasiswa mengubah aksi damai menjadi tragedi.

Perjuangan Mahasiswa

Tragedi kembali terjadi saat aparat mengatasi demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat ditembak peluru tajam milik aparat keamanan.

Aksi penembakan peluru karet dan peluru tajam serta pemukulan oleh aparat keamanan juga menyebabkan lebih dari 200 orang terluka.

Runtuhnya Rezim Orde Baru Mei 1998 (Dok.Kabar24)

Sehari kemudian, pada 13-15 Mei 1998,terjadi sebuah kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta dan sejumlah kota besar.Hingga saat ini belum diketahui siapa yang bertanggung jawab atas TragediTrisakti dan Kerusuhan Mei 1998 itu.

Akan tetapi, tragedi dan kerusuhan tidak menghentikanmahasiswa untuk terus bergerak. Pada 18 Mei 1998, aksi mahasiswa dalam jumlahakbar berhasil menguasai gedung DPR/MPR. Saat itulah, posisi Soeharto semakinterpojok.

Sebab, pada hari itu juga pimpinanDPR/MPR yang diketuai Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannyasebagai presiden.

Soeharto berusaha melakukan perlawanan.Salah satunya adalah dengan menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagaipemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya.

Soeharto pun menawarkan sejumlah tokohseperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid untuk bergabung. Namun,sejumlah tokoh yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998 itu menolak.

Soeharto semakin terpukul setelah 14 menteri di bawahkoordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak bergabung dalam KomiteReformasi atau kabinet baru hasil reshuffle.

Bahkan, dalam pernyataan tertulis yang disusun di GedungBappenas pada 20 Mei 1998, 14 menteri itu secara implisit meminta Soehartountuk mundur.

Soeharto sadar posisinya semakin lemah.Kegalauan Jenderal yang Tersenyum itu mencapai puncaknya pada Rabu malam itu,20 Mei 1998. Atas sejumlah pertimbangan, dia pun memutuskan untuk mundur esokharinya, 21 Mei 1998.

Media dan wartawan baik di luar negeri maupun di dalam negeri fokus ke Jakarta.

Sebuah suratkabar harian yang terbit Surabaya menugaskan redaktur dan sejumlah khusus mengawal “Peristiwa Mei 1998” itu. Hari Kamis, 21 Mei 1998 awak media itu berkumpul di kantornya. Masing-masing saling mengontak nara sumbernya.

Berita koran hari-hari itu tercatat sebagai salah satu momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Begitulah lintasan sejarah. Kisah Soeharto di akhir kekuasaannya (Arifin BH, Pemimpin Redaksi LenteraToday).

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.