20 April 2025

Get In Touch

Ki Hadjar Dewantara : Mengenyam Pendidikan Pertama di Pesantren

Ki Hadjar Dewantara : Mengenyam Pendidikan Pertama di Pesantren

SURABAYA (Lenteratoday) –Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hardiknas tidak lepas dari kiprah Ki Hadjar Dewantara. Lantas bagaimana sebenarnya perjalanan pendidikan tokoh yang lahir pada hari Kamis legi, 2 Ramadhan 1309 H atau bertepatan dengan 2 Mei 1889 ini.

Perjalanan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara yang bernama aslinya Raden Mas Soewardi Soejaningrat  ini dari pendidikan pesantren di Kalasan, asuhan Kyai Haji Soleman Abdurrohman. Usai ayah Soewardi,  keturunan pangeran Kadipaten Puro Pakualaman dan seorang seorang ningrat ini merasa bahwa ilmu agama yang diperoleh anaknya dari pondok pesantren sudah cukup, maka, ayah Soewardi memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah Govermen Belanda, yakni ELS (Eropessche Lagere School) yang berada di kampung Bintaran dekat dengan kadipaten tempat tinggal Soewardi.

Setelah lulus dari ELS, ayah Soewardi menginginkan Soewardi melanjutkan sekolah ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) yang merupakan sekolah bagi calon pegawai Govermen Belanda. Namun, Soewardi lebih memilih untuk melanjutkan sekolah ke Kweekschool, yang merupakan sekolah bagi calon guru. Karena Soewardi sudah merasakan adanya kesenjangan pendidikan antara anak-anak Belanda, anak bangsawan, dan rakyat jelata.

Dalam perjalananya, Soewardi bertemu dengan dr. Wahidin Soedirohoesodo yang menawarkan pendidikan dokter bagi anak-anak bangsawan.  Mendengar pemaparan dr. Wahidin bahwa rakyat kekurangan tenaga medis, maka Soewardi memutuskan untuk meninggalkan sekolah Kweekschool dan memilih melanjutkan sekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang terletak di Batavia.

Di STOVIA, Soewardi bertemu dengan anak-anak bangsawan lain dari berbagai daerah yang ternyata memiliki visi perjuangan yang sama dengannya. Sehingga, kegiatannya di sekolah tidak hanya diisi dengan belajar mata pelajaran sekolah saja melainkan diisi dengan diskusi-diskusi kebangsaan.

Akhirnya, melalui pelajar STOVIA inilah, pada tahun 1908 lahirlah organisasi Boedi Oetomo. Boedi Oetomo berupaya menjadi wadah aspirasi bagi pemuda inlander, terutama melalui dunia jurnalistik. Kegiatan yang cukup padat, baik di sekolah maupun di Boedi Oetomo akhirnya membuat kondisi kesehatan Soewardi semakin menurun.

Kondisi tersebut cukup mempengaruhi kualitasnya sebagai seorang pelajar. Sehingga, tanpa disangka, pada saat pengumuman kenaikan kelas ke kelas lima ternyata Soewardi dinyatakan tidak naik kelas karena nilainya terlalu jelek.

Perasaan kecewa yang teramat dalam menggelayuti pikiran Soewardi ketika itu, namun karena dukungan keluarga dan teman-teman, Soewardi berupaya bangkit dan menerima kenyataan. Pada tahun 1910, Soewardi mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai ahli kimia di Laboratorium Pabrik Gula Kalibogor.

Namun, pada tahun 1911, Soewardi menyatakan mengundurkan diri dari pekerjaannya karena ia tidak sanggup melihat rakyat yang bekerja dipelakukan secara kasar. Soewardi mendapatkan ajakan untuk bergabung dengan organisasi Sarekat Dagang Islam, yang merupakan organisasi perjuangan yang bergerak di bidang politik dan agama. Pada organisasi tersebut, Soewardi menjadi penulis yang aktif menulis di berbagai media massa. Mulai dari sanalah kemudian Soewardi berkenalan dengan organisasi lainnya.

Pada tahun 1913 Soewardi menikah dengan Raden Ayu Soetartinah, kerabat dari ayah Soewardi. Beberapa hari setelah pernikahan, Soewardi ditangkap oleh polisi Belanda karena dianggap memberikan dukungan pada rakyat melalui tulisan-tulisannya. Akhirnya, sebagai hukumannya Soewardi diasingkan dan ia memilih untuk diasingkan ke Belanda.

Di Belanda kehidupan Soewardi dan Soetartinah sangat terkatung-katung. Namun, di Belanda justru Soewardi didekatkan kembali dengan cita-cita masa lalunya untuk menjadi seorang guru. Soewardi berteman baik dengan Mr. John Dewey, Mr. Rabindranat Tagore, Mr.J.J. Rousseau, dr. Maria Montessori, Mr. Kerschensteiner dan Mr. Frobel.

Soewardi sangat kagum pada metode Frobel yang menerapkan pendidikan dengan menyanyi dan bermain. Kemudian, metode dr. Maria yang menerapkan metode pendidikan dengan menitik beratkan pada panca indra. Akhirnya fokus di dunia pendidikan.

Karirnya sebagai seorang pendidik, diawali dengan menjadi guru di sekolah Adhi Darmo yang didirikan kakaknya Raden Mas Soerjopranoto. Setelah satu tahun Soewardi menjadi guru, munculah ide gagasannya untuk mendirikan sekolah sendiri. Akhirnya, pada 3 Juli 1922, Soewardi memutuskan untuk mendirikan sekolah baru yang ia beri nama National Onderwijs Instituut Tamansiswa.

Sekolah yang didirikannya tersebut, merupakan bentuk protesnya terhadap sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, filosofi dan seluruh aktivitas di Tamansiswa dilandasi oleh kebudayaan bangsa Indonesia, agar anak-anak Inlander dapat menjadi seorang intelektual yang berbudi pekerti serta mencintai tanah airnya. Pada 1932, pemerintah Belanda menyita semua barang-barang yang ada di Tamansiswa, karena Tamansiswa tidak membayar pajak pada pemerintah Belanda. (*)

Sumber : kompas.com| Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.