20 April 2025

Get In Touch

Hadapi Gelombang PHK, DPRD Minta Pemprov Jatim Bangkitkan UKM

Anggota Komisi E DPRD Jatim, Hartoyo.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Hartoyo.

SURABAYA (Lenteratoday) – Menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang belakangan ini terus melanda. Bahkan, sepanjang 2022 lalu setidaknya sudah sekitar 1 juta orang yang terkena PHK. Untuk itu, pemerintah diharapkan mampu membangkitkan ekonomi UMKM.

Anggota Komisi E DPRD Jatim, Hartoyo, mengatakan bahwa gelombang PHK ini tidak lepas dari pengaruh Covid-19. Di mana dampak dari Covid ini tidak hanya pada sektor kesehatan, namun juga berimbas pada setor ekonomi yang terus mengalami pelemahan.

“Memang itukan dampak dari Covid yang jelas itu, masing-masing pemilik usaha baik mulai produksi kemudian di perhotelan dan sebagainya itu memang tidak bergerak. Salah satu contoh produksi, kita bisa produksi tapi tidak bisa ekspor dan tentu otomatis kan pengusaha rugi dengan jalan pertama yang dulunya enam hari kerja, bisa tiga hari kerja,” katanya, Rabu (11/1/2023).

Ironisnya lagi, sebagian dari para pengusaha yang terpaksa melakukan PHK tersebut tidak bisa memberikan pesangon dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kondisi perusahaan yang melemah.  “Memang banyak dari pengusaha itu tidask bisa menenuhi aturan yang sudah ada, artinya posangon dan sebagainya. Memang kondisi dan itu sudah difaslilitasi oleh disnaker kemudian juga ke saya,” katanya.

Terkait dengan PHK, politisi partai Demokrat ini mengatakan bahwa sudah ada ratusan bahkan ribuan orang yang mengadu ke Komisi E DPRD Jatim. Bahkan, untuk mencapai solusi antara pekerja dan pengusaha, maka Komisi E juga menghadirkan pihak perusahaan  secara langsung.

Labih lanjut, dengan bergulirnya gelombang PHK dan bahkan tidak bisa dielakkan ini, maka dia mendesak adanya upaya dari pemerintah termasuk Pemprov Jatim untuk menggerakkan UKM, dengan demikian perekonomian masyarakat akan bisa kembali berjalan.

“Menyikapi ini, sekarang ini pertumbuhan sudah mulai dan hampir tiga tahun itu terdampak pandemi Covid-19. Termasuk industry padat karya, pertama kita tidak mungkin produksi kemudian tidak bsia diekspor,” katanya.

“Ada penjembatan, maka didesak terutama dengan meningkatkan UKM digelontor kita memberikan keluasan kemudahan supaya sekarang bisa online dan ini bisa menadi salah satu terobosan,” sambungnya.

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan pemangkasan pekerja di pabrik tekstil dan produk tekstil bisa mencapai 500 ribu orang. Mulai dari karyawan dirumahkan, dipangkas jam kerja, kontrak tak diperpanjang, hingga PHK tetap.

Menurut Redma, hal itu dipicu perlambatan ekspor yang menekan utilisasi pabrik, hingga efek domino gempuran produk impor di dalam negeri.

"PHK masih terus berlanjut, tapi pemerintah nggak percaya. Awalnya ada yang jam kerja dipangkas, tadinya 6 hari dikurangi jadi 4 hari, mereka di-rolling. Lalu, ada yang dirumahkan, upahnya dibayar 20%. Kemudian terminate (putus/ tidak diperpanjang) kontrak, lalu PHK," kata Redma dikutip dari CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

"Karena kalau langsung PHK kan si perusahaan harus lapor dan bayar pesangon. Jadi dia milih merumahkan karyawan atau tak memperpanjang kontrak. Intinya, terjadi pengurangan karyawan sebenarnya. Sudah lebih 100 ribuan orang. Itu baru di pabrik skala menengah besar. Kalau hitung skala kecil sampai UMKM tukang jahit, bisa lebih dari itu," ujarnya.

Di sisi lain, dia mengaku, perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri tak bisa berbuat banyak jika menyangkut anjloknya ekspor. "Karena yang terjadi kan penurunan order di negara lain, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS), dipicu faktor ekonomi di sana, inflasi, krisis. Meski, anehnya, pejabat kita lagi-lagi nggak percaya," kata dia.

"Kalau masih terjadi kenaikan nilai ekspor, itu tidak memberikan hasil apa-apa ke perusahaan di sini. Karena, volumenya anjlok," tambah dia.

Redma menjelaskan, pabrik tekstil jadi di dalam negeri, terutama garmen berorientasi ekspor biasanya penjahit bagi produk bermerek global. Biasanya, kata dia, pemilik merek mengorder dalam jumlah tertentu dengan nilai tertentu.

"Sementara, harga bahan baku terus naik dan berubah setiap hari. Yang tadinya order 1.000 lembar dengan US$100 juta, karena bahan baku naik sementara demand turun, nggak lagi 1.000 lembar, nilainya bisa jadi US$120 juta. Tapi, nilai itu naik karena bahan bakunya naik, diteruskan ke harga barang. Jadi, bukan naik lalu si pabrik menikmati, bukan begitu," papar Redma. (*)

Reporter : Lutfi | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.