19 April 2025

Get In Touch

Menurut Survei, 1 dari 4 Orang Inggris Kesulitan Keuangan Akibat Krisis

Media massa di Inggris memberitakan bila Perdana Menteri Liz Truss mengundurkan diri. (Foto-istimewa)
Media massa di Inggris memberitakan bila Perdana Menteri Liz Truss mengundurkan diri. (Foto-istimewa)

LONDON (Lenteratoday)-Hampir 32 juta orang atau 60 persen dari populasi orang dewasa di Inggris mengalami kesulitan dalam membayar tagihan. Situasi ini diakibatkan oleh meningkatnya biaya hidup yang diperburuk oleh krisis akibat sanksi terhadap Rusia yang justru berdampak pada pemerintahan London itu sendiri.Laporan tersebut disampaikan oleh sebuah badan pengawas (watchdog) lokal, Financial Conduct Authority (FCA), pada Jumat (21/10/2022).

“Satu dari empat orang dewasa Inggris berada dalam kesulitan keuangan atau dapat dengan cepat menemukan diri mereka dalam kesulitan jika mereka mengalami guncangan keuangan,” kata FCA dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Reuters.

Survei terbaru yang dirilis oleh FCA membuktikan, angka tersebut naik 6 juta dari tahun 2020, ketika kala itu perekonomian Inggris terhambat akibat pandemi COVID-19.Pada tahun ini, rakyat Inggris sedang berjuang di tengah kenaikan harga makanan dan bahan bakar. Sekarang, angka inflasi mencapai 10 persen, jauh lebih tinggi daripada sebagian besar jumlah kenaikan gaji.

Lebih lanjut, survei FCA menunjukkan terdapat 4,2 juta orang dewasa yang melewatkan tagihan rumah tangga atau pembayaran kredit mereka dalam tiga atau lebih dari enam bulan terakhir. Lagi-lagi, angka ini naik dari semula 3,8 juta pada tahun 2020.

Dalam situasi ini, terdapat pula fenomena kesenjangan antara kelompok kulit gelap dan kulit putih.

Survei menunjukkan, sejumlah 27 persen orang dewasa berkulit gelap mengatakan bahwa mereka merasa berat dalam membayar tagihan, dibandingkan dengan 15 persen dari orang dewasa berkulit putih lainnya di Inggris.

FCA mengatakan, survei-survei yang pihaknya lakukan adalah yang terbesar — lebih dari 19.000 koresponden diwawancarai antara Februari dan Juni tahun ini.

Terkait hal ini pula, FCA telah mulai memperingatkan bank yang ada di Inggris untuk selalu mendukung pelanggan dan memberikan opsi terbaik dalam menangani kesulitan keuangan yang terjadi.

Kebijakan Liz Truss Pemicu Mundur

Untuk diketahui, Perdana Menteri (PM) Inggris, Liz Truss, memutuskan untuk mengundurkan diri pada Kamis (20/10/2022). Keputusan tersebut hanya berselang 45 hari setelah ia terpilih.

Mengutip The Straits Time, Jumat (21/10/2022), pengunduran diri tersebut seiring dengan sejumlah kebijakan ekonomi dia jalankan, namun tak berhasil menyelematkan ekonomi Inggris. Kebijakan ekonomi Trussnomics justru memicu kepanikan di pasar keuangan Inggris.

Ekonomi Inggris mengalami ketidakpastian imbas pandemi COVID-19 hingga situasi global yang memanas. Namun, Truss justru mengambil kebijakan yang dinilai klise, seperti memangkas tarif pajak hingga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mendorong belanja pemerintah. "Saya tidak bisa meneruskan mandat yang membuat saya dipilih oleh Partai Konservatif," kata Truss saat mengumumkan pengunduran dirinya.

Kekacauan ekonomi Inggris tak lepas dari kebijakan yang telah dibuat Truss. Di bawah kepemimpinan Truss, pemerintah Inggris meluncurkan rencana ekonomi dengan memberikan insentif pajak senilai 45 miliar poundsterling (GBP) atau setara dengan Rp 786 triliun.

Hal tersebut membuat pemerintah Inggris harus mengeluarkan kocek lebih dalam dengan cara menerbitkan utang atau obligasi. Sayangnya, obligasi pemerintah Inggris sepi peminat. Sehingga, imbal hasil obligasi tersebut bahkan menyentuh 4 persen, nilai tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.

Tak hanya itu, nilai tukar poundsterling terhadap dolar AS juga mencatat level terendah sejak 1985, mencapai GBP 1.069. Nilai tukar yang melemah ini membuat inflasi Inggris melonjak dan suku bunga meningkat. Hal tersebut membuat Inggris terancam mengalami resesi.

"Bank of England terpaksa melakukan intervensi untuk mencegah krisis menyebar ke ekonomi yang lebih luas dan menempatkan dana pensiun dalam risiko," tulis laporan tersebut.

Usai kekacauan tersebut, Truss memutuskan untuk memecat Menteri Keuangan, Kwarteng, dan menggantinya dengan Jeremy Hunt. Tiga hari setelah menjabat, Hunt memutuskan untuk mencabut hampir seluruh kebijakan pajak yang direncanakan Truss dan Kwarteng.

Hunt mengatakan pemerintah perlu menghemat miliaran poundsterling dan menurutnya, ini merupakan keputusan sulit yang harus dibuat, sebelum menetapkan rencana fiskal jangka menengah pada 31 Oktober mendatang.

"Prospek ekonomi Inggris telah memburuk selama berminggu-minggu, dengan inflasi mendekati level tertinggi dalam 40 tahun. Hal tersebut melemahkan kepercayaan konsumen. Goldman Sachs memangkas perkiraannya selama akhir pekan, dan survei ekonom oleh Bloomberg mengantisipasi resesi mulai tahun ini diikuti oleh pertumbuhan nol hingga akhir 2023," kata laporan tersebut.

Truss memiliki gagasan untuk mendorong pertumbuhan, yakni menjaga stabilitas moneter, inflasi, dan fiskal. Padahal, di tengah situasi Inggris yang mengalami krisis saat ini, kebijakan utama adalah menenangkan pasar dengan kebijakan yang realistis.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris akan melambat menjadi 3,4 persen tahun ini, dan 0,0 persen tahun depan.Trussonomics membuat investor melepas obligasi Inggris. Kebijakan Truss yang mendorong belanja pemerintah dan memangkas pajak dinilai sebagai pemanis. (*)

Sumber: Reuters,The Straits Time | Editor:Widyawati

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.