20 April 2025

Get In Touch

Obituari Susilo Muslim: Hidup ‘Gila’ Demi Ideologi, Pimpin Pasukan Wirapati di Peristiwa Kuda Tuli

Obituari Susilo Muslim: Hidup ‘Gila’ Demi Ideologi, Pimpin Pasukan Wirapati di Peristiwa Kuda Tuli

BERITA duka melingkupi PDIP khususnya Jawa Timur, Kamis (6/10/2022) saat Susilo Muslim, tokoh penggerak asal Nganjuk meninggal dunia. Banyak cerita perjuangan yang diwariskannya ke para generasi muda.

Pada 8 April 2020 lalu, Lentera Today berkesempatan berbagi cerita dengan Susilo Muslim di Nganjuk.

Mbah Lim begitu sapaannya-- memulai kisahnya saat hidup ‘gila’ demi membela ideologi dan keyakinannya. “Istri sudah pasrah saat itu, anak-anak juga. Saya ini marhaeinis sejati. Dadi diapak-apakno (jawa: dilakukan apapun) yo tetep marhaen,” katanya.

Salah satu cerita paling membekas dalam perjuangannya bersama banteng moncong putih adalah saat dirinya didapuk menjadi Satgas pengamanan Nasional di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat saat peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) terjadi.

Sekitar satu bulan sebelum peristiwa berdarah tersebut, Muslim mendengar kabar dari totoh-tokoh di Jawa Timur bila rumah Megawati akan diserbu oleh pasukan Soerjadi. “Saya sudah wul, tak udokno nyowoku (mengikhlas nyawa) untuk perjuangan ini,” katanya. Apalagi saat itu dikabarkan, Megawati tidak mau dijaga kecuali oleh teman-teman dari Jatim.

Bersama 6 orang temannya, Muslim berangkat ke Ponorogo dulu. Bertemu tim dari padepokan di Kota Reog yang juga akan berangkat ke Jakarta. Di Ponorogo dia menemui Marhendro dan Hardo untuk melakukan persipan khsuus di padepokan. “Kami satu padepokan. Setelah bersiap kami pun berangkat dan diberi nama Pasukan Wira Pati,” katanya.

Total ada sekitar 40 orang yang berangkat dari Jatim. Mereka langsung menuju kediaman pribadi Megawati di Jl. Kebagusan IV Dalam, Jaksel. “Saat itu tim dari Jatim diterima Laksamana Sukardi,” ceritanya.

Kejanggalan mulai terlihat pada Kamis tanggal 25 Juli 1996. Menurut Muslim banyak pekerja yang membongkar paving trotoar di Jl. Diponegoro. Saat ditanya, para pekerja mengatakan aka nada perbaikan. “Padahal trotoar tampak baru. Tapi kami tidka melakukan intervensi lebih. Intinya kami mempersiapkan diri apapun yang terjadi, “ceritanaya.

Pada Jumat 26 Juli 1996, semua posko di Jl. Diponegoro dibongkar, tinggal posko yang ada di dalam kantor DPP PDI. Muslim mengatakan ada tenda besar di pasang yang katanya akan digunakan sebagai acara keagamaan.

Pada 27 Juli 1996 dinihari belum ada tanda-tanda penyerangan, namun tiba-tiba sekitar pukul 06.00 WIB saat mau ada pergantian petugas jaga, ratusan orang turun dari truk-truk aparat. Menurut kesaksian Muslim, pasukan memang menggunakan kaos merah PDI pro Soerjadi, tapi semua berambut cepak dan menggunakan sepatu laras panjang.

“Kami pun langsung merapatkan barisan. Intinya bagaimana mereka tidak bisa masuk ke dalam kantor DPP PDI,”katanya. Lembaran batu dan paving pun masuk ke dalam gedung itu. Tak hanya merusak kaca-kaca jendela, tapi juga tim satgas banyak yang terbunuh. “Banyak teman-teman satgas yang baru jaga istirahat, tidur. Rata-rata mereka kena lemparan paving. Kena kepala dan lain-lain,” ujar Muslim dengan mata berkaca-kaca.

Muslim pun di bawa ke ruang bawah tanah bersama dua oarang lainnya. Awalnya dia tidak tahu ditahan dimana dan berapa orang yang tertangkap. Selama lima hari di tahanan bawah tanah, Muslim

mengaku tidak makan. “Saya tidak makan, lha dikasih makanan kayak kucing. Akhirnya saya lemas dan digendong aparat ke sel atas bersama teman-teman. Di situ saya baru tahu kalau berada di tahanan Polda Metro Jaya dan yang tertangkap 124 orang,” katanya.

Saat bertahan tetap hidup dan ‘waras’ di dalam sel, dia kemudian tahu bila di Nganjuk, keluarganya sudah menggelar tahlilan kematiannya hingga 40 hari. Wajar, karena dia sudah menghilang tanpa kabar lebih dari sebulan. Dan tentunya berita penyerangan kantor DPP PDI juga tersiar di seluruh Indonesia.

Muslim mengaku sudah pasrah apapun yang terjadi pada akhir perjuangannya. Hingga kemudian mereka di bawa ke Rutan Salemba dan Megawati datang menjenguk mereka ke penjara. “Saya tak bisa berkata apa-apa. Sungguh sangat terharu saat ibu mau masuk ke penjara demi menjenguk kami. Ini sebuah penghargaan yang tak ternilai,” ujar Muslim sambil berkaca-kaca.

Kala itu Mega menanyakan kesehatan para tahanan. “Kalian sehat-sehat ya? Jangan bertengkar? Baik-baik di sini,” ujar Muslim menirukan Megawati. Para Pro-mega yang berjuang mempertahankan kantor DPP pun mengiyakan. “Kami sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Haru, sedih, gembira karena ibu datang langsung menjadi satu,” jelasnya.

Setelah Megawati menjenguk, kelonggaran-kelonggaranpun diberikan. Mulai dari boleh keluar dari barak untuk jalan-jalan di lapangan hingga dijenguk oleh keluarga. Sejak itu pula menu makan mereka menjadi layak. “Saya ingat Ir.Soetjipto menjenguk 2-3 kali. Tanpa ada kata-kata, kami hanya bisa saling melambaikan tangan. Saya tahu apa yang dia rasakan, begitupun dia, pasti paham apa yang kami rasakan. Trenyuh hati ini melihat kondisi bangsa, perjuangan memang belum usai, tapi sudah ada tanda-tanda menuju ke arah yang kami harapkan, ” ujarnya.

Muslim optimistis dengan tragedi Sabtu Kelabu itu, demokrasi yang selama ini dicita-citakan sedikit demi sedikit akan tercapai. Cerita lengkap perjuangan Susilo Muslim bersama rekan-rekan ProMeg bisa dibaca di buku yang akan diterbitkan untuk mengungkap berbagai momen sejarahnya.

Sugeng tindak Mbah Lim, perjuanganmu akan selalu dikenang.

editor: widyawati

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.