21 April 2025

Get In Touch

DPRD Palangka Raya Tolak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Sekretaris Komisi A DPRD Kota Palangka Raya, Noorkhalis Ridha.
Sekretaris Komisi A DPRD Kota Palangka Raya, Noorkhalis Ridha.

PALANGKA RAYA (Lenteratoday) - Rencana pemerintah pusat untuk kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dinilai belum tepat untuk dilaksanakan. Sekretaris Komisi A DPRD Kota Palangka Raya, Noorkhalis Ridha, mengatakan ini bertolak belakang melihat harga minyak mentah dunia yang menurun tajam.

"Harga minyak mentah dunia sedang turun, dari semula 120 USD per barel, turun hingga di bawah 90 USD per barel, karena itu kebijakan pemerintah pusat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dirasa tidak tepat," papar Ridha, Kamis (1/9/2022).

Ia meneruskan, jika harga BBM tetap dinaikkan, maka masyarakatlah yang dirugikan. Apalagi saat ini ekonomi masih dalam masa pemulihan. Ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, dengan melihat secara langsung dampaknya terhadap masyarakat.

Selain itu, Ridha menuturkan, belakangan ini juga sering terjadi kelangkaan BBM subsidi. Hal ini terjadi karena BBM bersubsidi akan habis di akhir bulan September 2022, yang disebabkan peningkatan konsumsi BBM Subsidi, sehingga membebani APBN.

Namun, kondisi ini seharusnya dipahami oleh pemerintah pusat. Di mana penggunaan BBM di tahun 2022 mestinya ada peningkatan sebesar 50% dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 2012.

"Karena bisa diprediksi setiap tahun akan terjadi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%, ini akan berdampak pada meningkatnya penggunaan transportasi baik pribadi maupun publik, logistik, pertanian, Industri, dan bidang lainnya," jelasnya.

Lebih lanjut ia menerangkan, kuota BBM subsidi 2012 untuk premium sudah sebesar 24,3 juta kiloliter, solar 14,9 juta kiloliter, dengan besaran total subsidi Rp 211 triliun. Jika dibandingkan pada 2022, pertalite subsidinya hanya 23 juta kiloliter. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi 50%, saat ini kuotanya berkisar 36 juta kiloliter.

Sementara, untuk solar saat ini kuotanya hanya 14,9 juta kiloliter, yang seharusnya 21,9 juta kiloliter, dan subsidi saat ini tahun 2022 justru menurun menjadi Rp 208 triliun rupiah.

"Jadi memang kuota subsidi tahun ini dikurangi oleh pemerintah, sehingga kuota BBM tidak akan mencukupi sampai akhir tahun, yang pada akhirnya merugikan masyarakat," ungkapnya.

Selain itu, Ridha menambahkan, saat ini masyarakat sudah dirugikan dengan dikuranginya kuota BBM subsidi sebanyak 25%. Hal ini secara tidak langsung menyuruh masyarakat untuk menggunakan BBM non subsidi pertamax. Masyarakat lebih dirugikan lagi karena pertamina tidak bisa menyediakan BBM subsidi premium yang harganya lebih murah dari pertalite.

Selain itu diperparah dengan kemampuan Pertamina mengimpor bahan bakar dengan harga tinggi dari beberapa negara, yang mengakibatkan harga jual ke masyarakat menjadi mahal.

Dari data globalpretrolprices.com pada solar non subsidi (Diesel). Harga jual di Indonesia berada diurutan ke-70 kemahalannya dari 190 negara. Taiwan hanya 0,903 USD (Rp 13.450,-), Thailand 0,975 USD (Rp 14.527,-), di mana kedua negara ini tidak menghasilkan minyak dan gas, tetapi harga solar/diesel lebih murah dari Indonesia. Tentu ini mengherankan mengingat Indonesia masuk negara penghasil minyak terbesar nomor 3 di Asia dan juga penghasil gas terbesar di Asia.

Apalagi diketahui sejak April 2019 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor solar dan sudah bisa menghasilkan solar sendiri. Seharusnya harga solar di Indonesia bisa lebih rendah dari negara tetangga Malaysia.

"Kuota dan harga BBM subsidi saat ini tidak rasional, karena itu harga BBM Subsidi jangan dinaikkan. Namun, jika ini disebabkan anggaran APBN yang terbatas, sebaiknya pemerintah mencari solusi lain agar tidak semakin membebani masyarakat," pungkasnya. (*)

Reporter : Novita | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.