20 April 2025

Get In Touch

Presiden Jokowi Sebut Tiga Kasus Megakorupsi yang Gerogoti Perekonomian Indonesia

Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam Sidang Tahunan MPR RI 2022.
Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam Sidang Tahunan MPR RI 2022.

JAKARTA (Lenteratoady) – Dalam Sidang Tahunan 2022 ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengingatkan adanya tiga kasus korupsi besar. Jokowi menegaskan perlindungan hukum hingga ekonomi untuk rakyat harus diperkuat. Selain itu, hak sipil juga mesti dijamin.

"Perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat harus terus diperkuat. Pemenuhan hak sipil dan praktik demokrasi, hak politik perempuan dan kelompok marjinal, harus terus kita jamin. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu," kata Jokowi dalam pidato di Sidang Tahunan MPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2022).

Selain itu, pemberantasan korupsi, kata Jokowi, terus menjadi prioritas utama pemerintah. Jokowi mengungkap kasus korupsi besar di Jiwasraya hingga Garuda berhasil dibongkar. Tiga kasus korupsi itu diketahui dibongkar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Demikian juga dengan pemberantasan korupsi terus menjadi prioritas utama. Untuk itu, Polri, Kejaksaan, dan KPK terus bergerak. Korupsi besar di Jiwasraya, ASABRI, dan Garuda berhasil dibongkar, dan pembenahan total telah dimulai. Penyelamatan aset negara yang tertunda, seperti kasus BLBI terus dikejar, dan sudah menunjukkan hasil," jelasnya.

Kemudian, Jokowi menyinggung skor indeks persepsi korupsi dari Transparency International. Jokowi menyebut skor indeks korupsi naik dari tahun sebelumnya.

"Skor persepsi korupsi dari Transparency International juga naik dari 37 menjadi 38 di tahun 2021. Indeks Perilaku Antikorupsi dari BPS juga meningkat dari 3,88 ke 3,93 di tahun 2022," tutur Jokowi.

Dua dari tiga kasus korupsi yang disebutkan Jokowi termasuk kasus korupsi terbesar di Indonesia.

Pertama, Kasus ASABRI yang dinilai telah merugikan negara hingga Rp 23,7 Triliun. Dalam kasus ASABRI, Kejagung menjerat delapan tersangka. Berikut daftar para tersangka:

-Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri, Direktur Utama PT ASABRI periode 2011-2016

-Letjen Purn Sonny Widjaja, Direktur Utama PT ASABRI periode 2016-2020

-Bachtiar Effendi, Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT ASABRI periode 2012-2015

-Hari Setianto, Direktur Investasi dan Keuangan PT ASABRI periode 2013-2019

-Ilham W Siregar, Kepala Divisi Investasi PT ASABRI periode 2012-2017

-Lukman Purnomosidi, Presiden Direktur PT Prima Jaringan

-Heru Hidayat, Presiden PT Trada Alam Minera

-Benny Tjokrosaputro, Komisaris PT Hanson International Tbk

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, menerangkan Adam dan Sonny, yang kala itu menjabat Direktur Utama ASABRI, berafiliasi dengan pihak swasta, yaitu Benny Tjokro dan Heru Hidayat. Tujuannya, menukar saham portofolio dengan harga yang tinggi.

"Bahwa pada tahun 2012 sampai dengan 2019 Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan, serta Kadiv Investasi PT ASABRI bersama-sama telah melakukan kesepakatan dengan pihak di luar PT ASABRI yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi, yaitu HH, BTS, dan LP," ucap Leonard pada 2021.

Tujuannya, jelas Leonard, yakni agar kinerja portofolio PT ASABRI terlihat seolah-olah baik. Setelah itu, saham-saham tersebut dikendalikan oleh Heru, Benny, dan Lukman. Ternyata saham-saham itu hanyalah transaksi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Seolah-olah, kata Leonard, saham tersebut bernilai tinggi dan likuid. Padahal, lanjutnya, transaksi-transaksi yang dilakukan hanya semu dan menguntungkan pihak Hari Setianto, Benny Tjokrosaputro, dan Lukman Purnomosidi. Hal itu juga merugikan investasi atau keuangan PT ASABRI.

Leonard mengatakan seluruh kegiatan PT ASABRI tidak dikendalikan sendiri, melainkan semuanya dilakukan oleh Heru, Benny, dan Lukman pada periode 2012-2019. Leonard mengatakan semua kegiatan itu menyebabkan negara rugi berdasarkan perhitungan sementara, yaitu lebih dari Rp 23 triliun.

"Penyidik untuk sementara telah menghitung kerugian negara sementara sebesar Rp 23.739.936.916.742," tutur Leonard kala itu.

Kasus kedua, Jiwasraya yang dinilai merugikan negara hingga Rp 17 triliun. Kejaksaan Agung menyebut dugaan kerugian negara terkait kasus korupsi Jiwasraya bertambah mencapai Rp 17 triliun. Selain itu Kejagung juga sudah menahan enam tersangka, menyita aset senilai ratusan miliar rupiah. Kasus ini masih diselidiki di Kejagung.

"Dirutnya menyatakan bahwa kerugian negara dalam bentuk gagal bayar Jiwasraya sekitar Rp 13 T lebih. Itu semuanya sahamnya kepunyaan klien kami Benny Tjokrosaputro. Ini tentu tidak sesuai dengan fakta. Kami anggap ini merupakan fitnah yang merugikan juga nama baik dari klien kami," kata kuasa hukum Komisaris PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, Muchtar Arifin.

Ketiga, kasus Garuda yang merugikan negara hingga Rp 8 triliun.

Emirsyah, selaku mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, dijerat sebagai tersangka bersama-sama dengan mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (PT MAR). Menurut Kejagung, Emirsyah Satar adalah orang yang pertama kali membocorkan rencana pengadaan pesawat kepada Soetikno. Hal itu bertentangan dengan pedoman pengadaan armada (PPA) milik PT Garuda Indonesia.

Sedangkan peran Soetikno Soedardjo (SS) dalam kasus ini adalah mempengaruhi Emirsyah untuk menyetujui analisis dari pihak manufaktur. Akhirnya Emirsyah Satar pun menginstruksikan jajarannya untuk membuat analisis hingga memilih Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) sebelumnya telah menetapkan 3 tersangka. Mereka adalah:

1. Setijo Awibowo (SA) selaku VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012

2. Agus Wahjudo selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014

3. Albert Burhan (AB) selaku VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012

Kejagung mengungkap bahwa kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus ini mencapai Rp 8,8 triliun.

Para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.

Sumber : CNN | Editor : Endang Pergiwati

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.